A. Pendahuluan
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien). .
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya..
Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling.
B. Landasan Bimbingan dan Konseling
Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun landasan pendidikan secara umum.
Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
• Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
• Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
• Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
• Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
• Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
• Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
• Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan ( Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
• Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
• Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
• Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
• Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
• Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
• Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas landasan yang kokoh.
Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Sumber Bacaan :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung
.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK SMP, SMA dan SMK
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas
.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta
.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Tujuan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Tujuan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir.
1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:
• Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
• Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
• Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
• Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
• Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
• Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
• Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
• Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :
• Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
• Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
• Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
• Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
• Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
• Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.
3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :
• Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
• Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
• Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
• Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
• Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
• Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
• Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
• Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.
• Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU
Jumat, 22 Maret 2013
Makalah Masa Bayi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Seorang individu dalam
rentang kehidupannya di dunia ini harus melalui berbagai macam fase atau masa
seiring perkembangan usia mereka. Dalam setiap fase memiliki tugas-tugas
perkembangan masing-masing, hal ini berbeda antara fase satu dengan fase yang
lainnya. Masing-masing individu dituntut untuk dapat menyelesaikan setiap tugas
perkembangannya sesuai dengan tahapan fase yang dilaluinya dan rentang usia
yang sudah ditentukan pada tiap fase tersebut.
Seorang individu dapat
dikatakan normal atau bahagia apabila ia dapat menyelesaikan tugas
perkembangannya dengan tepat waktu. Apabila individu tersebut tidak dapat atau
mengalami hambatan dalam menyelesaikan tugas perkembangannya, maka individu
tersebut akan mengalami gangguan atau ketidakbahagiaan baik dalam aspek fisik,
kognitif, emosi, sosial, maupun spiritualnya.
Dari seluruh fase yang
terjadi selama rentang kehidupan, salah satu fase yang memegang pernan penting
dalam perkembangan seorang individu adalah masa bayi. Masa bayi disebut sebagai
salah satu fase terpenting karena selama masa ini seorang individu mulai
belajar dan memahami berbagai macam hal-hal dan pengalaman baru tentang
dirinya. Banyak macam tugas perkembangan yang harus diselesaikan seorang individu
pada masa ini. Sekalipun demikian, masa ini bukanlah suatu masa yang berbahaya
bagi perkembangan individu.
Di balik semuanya itu,
ada tuntutan tersendiri yang wajib dicapai seorang individu setelah melalui
fase ini, yaitu menjadi individu yang mandiri. Untuk dapat mencapainya, para
orang tua terlebih dahulu harus memahami apa saja tugas-tugas perkembangan bagi
si bayi dan yang harus ibu lakukan agar bayinya dapat memenuhi tugas-tugas
tersebut.
Terdorong akan rasa
keingintahuan serta kenyataan seperti yang tersebut di atas itulah yang membuat
penulis memilih topik mengenai perkembangan masa bayi sebagai bahan kajian
dalam pembuatan makalah kali ini. Selanjutnya, hasil pengkajian tersebut,
penulis uraikan dalam makalah berjudul “Perkembangan Masa Bayi.”.
1.2 Rumusan
Masalah
Beberapa rumusan
masalah yang dibahas dalam makalah ini antara lain sebagai berikut.
1. Apa
yang dimaksud dengan masa bayi?
2. Apa
saja ciri-ciri dari masa bayi?
3. Apa
saja tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi individu selama masa bayi?
4. Apa
saja bahaya-bahaya selama perkembangan masa bayi?
1.3 Tujuan
Beberapa tujuan dari
penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut.
1. Untuk
mengetahui mengenai masa bayi.
2. Untuk
mengetahui ciri-ciri dari masa bayi.
3. Untuk
mengetahui tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi individu selama masa
bayi.
4. Untuk
mengetahui bahaya-bahaya selama perkembangan masa bayi.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Masa Bayi
Masa bayi berlangsung selama
dua tahun pertama kehidupan setelah periode bayi baru lahir selama dua minggu.
Masa bayi sering dianggap sebagai keadaan tidak berdaya di mana bayi setiap
hari belajar untuk semakin mandiri, sehingga di akhir masa bayi dikenal sebagai
anak kecil yang baru belajar berjalan.
Masa bayi adalah masa
dasar yang sesungguhnya, meskipun seluruh masa anak-anak merupakan masa dasar.
Banyak ahli berkeyakinan demikian, seperti Freud yang percaya bahwa penyesuaian
diri yang kurang baik pada masa dewasa bermula dari pengalaman-pengalaman masa
kanak-kanak yang kurang baik.
2.2 Ciri-Ciri Masa Bayi
Ciri-ciri tertentu
masa bayi, meskipun sama dengan ciri-ciri periode-periode lain dalam rentang
kehidupan, adalah sangat penting selama dua tahun masa bayi ini. Ciri-ciri tersebut
membedakan masa bayi dari periode-periode sebelumnya dan sesudahnya. Berikut
ini adalah ciri-ciri yang paling penting.
● Masa
Bayi adalah Masa Dasar yang Sesungguhnya
Ada empat hal yang
menyebabkan masa ini dianggap penting, yaitu:
1) Sifat-sifat
mulai terbentuk entah baik atau buruk, entah bermanfaat atau berbahaya.
2) Masa
yang mudah untuk memperbaiki kekeliruan pemahaman.
3) Kebiasaan
yang mempengaruhi pribadi dan sosial.
4) Tahap
pembelajaran yang mudah diterima.
Meskipun seluruh masa
anak-anak terutama tahun-tahun awal dianggap sebagai masa dasar, namun masa
bayi adalah dasar periode kehidupan yang sesungguhnya karena pada saat ini
banyak pola perilaku, sikap, dan pola ekspresi emosi terbentuk.
● Masa
Bayi adalah Masa di Mana Pertumbuhan dan Perubahan Berjalan Pesat
Bayi berkembang pesat
baik secara fisik atau psikologis. Pertumbuhan dan perubahan intelek akan
berjalan sejajar dengan perubahan fisik dan bayi pun mampu mengungkapkan apa
yang mereka inginkan. Dengan cepatnya pertumbuhan ini, perubahan tidak hanya
terjadi dalam penampilan tetapi juga dalam kemampuan. Bayi lambat laun menjadi
tidak segemuk seperti pada hari dilahirkan dan anggota tubuh berkembang dalam
perbandingan yang lebih baik terhadap kepala yang besar. Perubahan dalam
perbandingan tubuh disertai dengan pertumbuhan tinggi dan berat tubuh. Meskipun
pertumbuhan pesat terjadi pada seluruh periode bayi, namun yang terpesat adalah
dalam tahun pertama (Hurlock, 2003: 77).
● Masa
Bayi adalah Masa Berkurangnya Ketergantungan
Berkurangnya
ketergantungan pada orang lain merupakan efek dari pesatnya perkembangan
pengendalian tubuh yang memungkinkan bayi beradaptasi atau bergerak bebas.
● Masa
Bayi adalah Masa Meningkatnya Individualitas
Pada masa ini bayi
dituntut untuk lebih mandiri dalam penampilan dan pola- pola perilaku maka bayi
harus diperlakukan sebagai individu. Tidak dapat lagi semua bayi diharapkan
tumbuh berdasarkan makanan yang sama atau adanya jadwal makan dan tidur yang
sama. Tidak dapat diharapkan teknik-teknik latihan anak yang sama akan cocok
untuk semua bayi. Sekalipun bayi belum mencapai ulang tahunnya yang pertama,
kebanyakan orang tua mengetahui bahwa bayi adalah individu dan harus
diperlakukan sebagai individu.
● Masa
Bayi adalah Permulaan Sosialisasi
Egosentrisme, yaitu
diri bayi yang muda belia, cepat berubah menjadi keinginan untuk menjadi bagian
dari kelompok sosial dengan memprotes kalau dibiarkan sendiri selama beberapa
waktu dan dengan mencoba memperoleh perhatian dari orang lain melalui segala
macam cara yang dapat dilakukannya. Salah satu caranya adalah dengan perilaku
akrab. Bayi lebih dapat mengandalkan perhatian dan kasih sayang ibu atau
perhatian pengganti ibu daripada anggota-anggota keluarga lain atau orang-orang
lain.
● Masa
Bayi adalah Permulaan Berkembangnya Penggolongan Peran Seks
Masa ini merupakan
masa dimana bayi dididik untuk dikenalkan dengan kebiasaan menurut jenis
kelaminnya masing-masing.sehingga bagi bayi perempuan terlihatlah secara
otomatis kelemahanya yaitu suka menangis dan tanda lainnya. Sedangkan anak
laki-laki, diberi pakaian warna biru, diselimuti dengan selimut biru dan
kamarnya tidak diberi hiasan jumbai-jumbai dan karet-karet seperti kamar anak
perempuan. Mainan mereka juga dipilihkan sesuai dengan jenis kelamin mereka
masing-masing.
● Masa
Bayi adalah Masa yang Menarik
Bayi terlihat menarik
mungkin dari bentuk tubuhnya dan apabila diberi selimut atau baju yang lucu
akan semakin menarik. Jika sifat ketergantungan mereka semakin berkurang maka
kemenarikan mereka juga berkurang.
● Masa
Bayi adalah Permulaan Kreativitas
Bayi memang lemah
namun ia selalu belajar mengembangkan minat dan memulai kreativitas kemudian
menyesuaikan diri dalam lingkungan.
● Masa
Bayi adalah Masa Berbahaya
Bahaya bisa terjadi
kapan saja terutama pada masa bayi, karena bahaya ini dapat berupa fisik dan
psikologis yang berakibat sangat fatal bagi perkembangn si bayi. Di antara
bahaya-bahaya fisik, yang paling parah adalah penyakit dan kecelakaan karena
sering menyebabkan ketidakmampuan atau bahkan kematian. Karena pola perilaku,
minat, dan sikap terbentuk selama masa bayi, maka bahaya psikologis dapat
terwujud kalau diletakkan dasar-dasar yang buruk pada masa ini.
2.3 Tugas dalam Perkembangan Masa Bayi
Beberapa tugas yang
harus dipenuhi selama rentang kehidupan pada masa bayi antara lain sebagai
berikut.
1. Belajar
berjalan pada usia 9.0 – 15.0 bulan.
2. Belajar
memakan makan padat.
3. Belajar
berbicara.
4. Belajar
buang air kecil dan buang air besar.
5. Belajar
mengenal perbedaan jenis kelamin.
6. Mencapai
kestabilan jasmaniah fisiologis.
7. Membentuk
konsep-konsep sederhana kenyataan sosial dan alam.
8. Belajar
mengadakan hubungan emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.
9. Belajar
mengadakan hubungan baik dan buruk dan pengembangan kata hati.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Fisik pada Masa Bayi
Masa bayi merupakan
suatu masa di mana pertumbuhan sorang individu berkembang dengan pesat. Selama
tahun pertama, peningkatan berat tubuh lebih besar daripada peningkatan tinggi,
namun demikian pula sebaliknya pada tahun kedua.
Gerakan-gerakan tubuh
yang dimotori dengan kerja sama antara otot, otak, dan saraf kita namakan
motorik. Mula-mula bayi dapat menguasai otot-otot bibir, lidah, mata, dan
sebagainya, kemudian ia menguasai otot-otot leher dan bahunya.
Beberapa perkembangan
fisik yang harus dilalui bayi hingga pada akhir masa bayi ialah sebagai
berikut.
a. Pada
tahun pertama pertumbuhan fisik sangat cepat sedangkan tahun kedua mulai
mengendur.
b. Pola
perkembangan bayi pria dan wanita sama.
c. Tinggi
badan secara proporsional lebih lambat dari pertumbuhan berat badan selama
tahun pertama dan lebih cepat pada tahun kedua.
d. Dari
20 gigi seri, kira-kira 16 telah tumbuh selama masa bayi berakhir. Gigi pertama
muncul kira-kira pada usia 6-8 bulan. Gigi seri bawah muncul terlebih dahulu
kemudian menyusul tumbuhnya gigi seri bagian atas. Pada umur satu tahun
rata-rata bayi mempunyai 4 sampai 6 gigi dan pada umur dua tahun 16 gigi.
e. Pertumbuhan
otak tampak dengan bertambah besrnya ukuran tengkorak kepala. Diperkirakan
seperempat (1/4) dari berat otak orang dewasa dicapai pada usia sembilan bulan
dan tiga perempat (3/4) pada akhir tahun kedua.
f. Organ
keindraan berkembang dengan cepat selama masa bayi dan sanggup berfungsi dengan
memuaskan sejak bulan-bulan pertama dari kehidupan. Dengan berkembangnya
koordinasi otot-otot mata pada bulan ketiga maka bayi telah sanggup melihat
dengan jelas. Alat indra lainnya yang juga berkembang ialah pendengaran dan
penciuman.
g. Fungsi-fungsi
fisiologis. Masa bayi merupakan masa di mana dasar pembinaan pola-pola
fisiologis seperti makan, tidur, dan buang air harus terbentuk. Walaupun
pembentukan kebiasaan tidak terselesaikan pada akhir masa bayi.
h. Perkembangan
penguasaan otot-otot. Perkembangan penguasaan otot-otot mengikuti pola yang
jelas dan dapat diduga yang ditentukan oleh hukum arah perkembangan. Menurut
hukum ini penguasaan atau pengendalian otot-otot bergerak melalui tubuh dari
arah kepala menuju kaki (Yusuf, 2004:151).
Beberapa urutan
perkembangan motorik selama masa bayi mulai dari umur 1-24 bulan ialah sebagai
berikut.
Usia (Dalam Bulan)
|
Perkembangan Motorik
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
18
24
|
Gerakan reaksi (negatif = menangis, positif = senyum, dan spontan =
menggerak-gerakkan kaki dan tangan).
Memutar ke kanan dan ke kiri.
Menarik-narik selimut dan baju.
Menegakkan kepala ke arah dua belah tangan.
Dapat menelungkup beberapa menit.
Mengamati mainan yang dipegang.
Menarik kepala ke depan.
Duduk beberapa menit.
Dapat duduk sendiri.
Merangkak.
Berdiri sendiri.
Mulai dapat berjalan.
Dapat berjalan dengan baik dan dapat menaiki kursi atau tangga.
Dapat naik dan turun tangga, dan berlari.
|
3.2 Perkembangan Psikologis
Masa bayi adalah masa
pembentukan psikologis fundamental untuk makan, tidur, dan buang air, meskipun
pembentukan kebiasaan tersebut mungkin tidak selesai pada akhir masa bayi.
a. Pola
tidur
Selama tahun pertama masa bayi, lama
rata-rata tidur malam meningkat dari 8½ jam pada tiga minggu pertama hingga 10
jam pada 12 minggu pertama dan selanjutnya tetap konstan selama sisa tahun
tersebut. Selama tiga bulan pertama, penurunan jumlah waktu tidur siang
diimbangi oleh peningkatan jumlah waktu tidur malam.
b. Pola
makan
Sejak kelahiran hingga usia empat atau
lima bulan, semua pola makan adalah dalam bentuk mengisap dan menelan.
Mengunyah umumnya muncul sebulan sesudah menggigit. Ketidaksukaan makan yang
mulai berkembang pada tahun kedua sering merupakan akibat dari perpanjangan
pola makan ala bayi. Setelah terbiasa dengan makanan cair, cukup sulit bagi
bayi untuk menyesuaikan diri dengan makanan yang agak keras.
c. Pola
buang air
Pengendalian
(kontrol) buang air besar rata-rata mulai pada usia enam bulan, sedangkan
pengendalian buang air kecil mulai antara usia 15 dan 16 bulan. Dalam hal buang
air besar, kebiasaan pengendalian terbentuk pada akhir masa bayi, meskipun
sekali-kali dapat juga terjadi penyimpangan, khususnya ketika bayi lelah,
sakit, atau secara emosional sangat senang. Sebaliknya pengendalian buang air
kecil, belum sempurna pada akhir masa bayi.
3.2.1 Pengendalian Otot
Pada mulanya,tubuh bayi
mengalami gerakan-gerakan yang menyerupai kegiatan menyeluruh pada bayi
neonatal.perkembangan pengendalian otot terjadi karena adanya faktor pematangan
dan faktor belajar.karena otot – otot, tulang-tulang,dan struktur saraf sudah
matang dan karena perubahan dalam perbandingan badan maka bayi dapat
menggunakan badannya secara terkoordinasi.perkembangan pengendalian otot
mengikuti pola yang pasti dan dapat di ramalkan yang dikuasai oleh hukum
perkembangan arah.
3.2.2 Perkembangan Bicara
Berbicara merupakan
sarana berkomunikasi (Hurlock, 1980: 82). Bicara merupakan keterampilan
mental-motorik. Bicara tidak hanya melibatkan koordinasi kumpulan otot
mekanisme suara yang berbeda, tetapi juga mempunyai aspek mental yakni
kemampuan mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan (Hurlock, 1978: 176).
Beberapa tugas yang terlibat dalam
belajar berbicara, antara lain:
1. Pengucapan
Bayi belajar mengucapkan kata-kata sebagian melalui coba-coba tetapi
terutama dengan meniru ucapan orang dewasa.
2. Membangun
Kosa Kata
Mula-mula bayi belajar
nama-nama orang dan benda, kemudian kata-kata kerja.
3. Kalimat
“Kalimat” bayi yang pertama muncul antara usia dua belas dan delapan belas
bulan, biasanya terdiri dari satu kata yang disertai dengan isyarat.
Beberapa bentuk komunikasi prabicara,
yaitu sebagai berikut.
1. Menangis
Menangis
adalah salah satu dari cara-cara pertama bayi berkomunikasi dengan dunia pada
umumnya. Pada minggu ketiga atau keempat dapat diketahui apa maksud tangis bayi
melalui nada, intensitas dan gerakan-gerakan badan yang mengiringinya. Sebelum
usia tiga tahun kebanyakan bayi sudah belajar bahwa menangis adalah cara yang
manjur untuk memperoleh perhatian.
2. Berceloteh
Berceloteh
dimulai pada bulan kedua atau ketiga, mencapai puncaknya pada delapan bulan dan
kemudian berangsur-angsur berubah menjadi bicara yang benar-benar. Ocehan
menghilang sama sekali pada saat masa bayi berakhir.
3. Isyarat
Bayi
menggunakan gerakan isyarat sebagai pengganti bicara, bukan sebagai pelengkap
pembicaraan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan anak yang lebih tua, remaja
dan orang dewasa. Banyak bayi menggunakan isyarat yang dikombinasikan dengan
kata-kata untuk membuat kalimat.
4. Ungkapan-ungkapan
emosi
Ungkapan
emosi merupakan bentuk prabicara yang paling efektif, karena tidak ada yang
lebih ekspresif daripada isyarat-isyarat wajah yang oleh bayi digunakan untuk
mengatakan keadaan emosinya kepada orang lain. Alasan mengapa ungkapan emosi
merupakan bentuk prabicara yang bermanfaat adalah:
a. Karena
bayi belum mempelajari pengendalian emosi, maka mudahlah bagi orang lain untuk
mengetahui emosi apa yang mereka alami melalui ungkapan-ungkapan wajah dan
badan.
b. Bayi
lebih mudah mengerti orang lain melalui ungkapan wajah daripada melalui
kata-kata.
Beberapa isyarat umum yang digunakan
pada masa bayi dapat kita lihat pada tabel berikut.
Isyarat
|
Artinya
|
Mengeluarkan makanan dari mulut
|
Kenyang atau tidak lapar
|
Mencebik (pout)
|
Tidak senang
|
Mendorong puting susu dari mulut dengan lidah
|
Kenyang atau tidak lapar
|
Mendorong benda jauh-jauh
|
Tidak menginginkannya
|
Menjangkau benda
|
Ingin memilikinya
|
Menjangkau seseorang
|
Ingin ditimang/digendong
|
Mengecapkan bibir atau mengeluarkan lidah
|
Lapar
|
Tersenyum dan mengacungkan tangan
|
Ingin digendong
|
Bersin berlebihan
|
Basah dan dingin
|
Bergeliat dan bergetar
|
Dingin
|
Menggeliat, meronta dan menangis selama berpakaian dan mandi
|
Tidak suka adanya pembatasan kegiatan
|
Menolehkan kepala dari puting susu
|
Kenyang atau tidak lapar
|
3.2.3 Perilaku
Emosional dalam Masa Bayi
Ada dua ciri khusus
dari emosi masa bayi:
a. Emosi
bayi disertai oleh reaksi perilaku yang terlampau hebat bagi rangsangan yang
menimbulkannya, terutama dalam hal marah dan takut.
b. Emosi
lebih mudah dibiasakan pada masa bayi dibandingkan pada periode-periode lain.
Ini disebabkan karena terbatasnya kemampuan intelektual bayi sehingga mereka
mudah dan cepat bereaksi terhadap rangsangan yang pada waktu lalu membangkitkan
reaksi emosional.
3.2.4 Pola Emosional
yang Umum
Pola emosional yang
lazim pada masa bayi adalah sebagai berikut.
a. Kemarahan
Perangsang yang membangkitkan kemarahan
bayi adalah campur tangan terhadap gerakan-gerakan mencoba menghalangi
keinginannya. Tanggapan marah mengambil bentuk menjerit, meronta-ronta,
menendang kaki, mengibaskan tangan, dan memukul apa saja yang ada di dekatnya.
Pada tahun kedua bayi dapat juga melonjak-lonjak, berguling-guling,
meronta-ronta dan menahan nafas.
b. Ketakutan
Perangsang yang dapat membangkitkan
ketakutan bayi adalah suara keras; orang, barang, dan situasi asing; ruangan
gelap; tempat tinggi. Pada usia 8 bulan sampai 1 tahun, bayi akan menangis
terhadap benda, situasi, atau orang yang asing. Tanggapan rasa takut pada masa
bayi terdiri dari upaya menjauhkan diri dari perangsang yang menakutkan dengan
merengek, menangis, dan menahan nafas.
c. Rasa
ingin tahu
Bayi mudah mengungkapkan rasa ingin
tahunya terutama melalui ekspresi wajah menegangkan otot muka, membuka mulut,
dan menjulurkan lidah. Kemudian, bayi akan menangkap barang yang membangkitkan
rasa ingin tahunya tersebut, memegang, membolak-balik, dan melempar.
d. Kegembiraan
Pada usia 8 minggu bayi akan senyum atau
tidur pulas jika merasa kenyang, hangat dan nyaman. Pada bulan kedua dan
ketiga, bayi bereaksi pada orang yang mengajaknya bercanda, mengelitik, dan
memperhatikannya. Mereka mengungkapkan rasa senang atau kegembiraannya dengan
tersenyum dan menggerakkan lengan serta kakinya.
e. Afeksi
Setiap orang yang mengajak bayi bermain,
mengurus kebutuhan jasmaninya, atau memperlihatkan afeksi akan merupakan
perangsang untuk afeksi mereka. Umumnya, bayi mengungkapkan afeksinya dengan
memeluk, menepuk, dan mencium barang atau orang yang dicintai. Pada usia 1-3
tahun, emosi anak kemungkinan dapat dipengaruhi maka anak dapat turut
menyayangi, mengasihi ataupun membenci sesuatu.
3.3 Perkembangan Sosialisasi
Perkembangan sosial
yang dini memainkan peranan yang sangat penting dalam menentuan hubungan sosial
di masa depan dan pola perilaku terhadap orang lain. Karena kehidupan bayi
berpusat di sekitar rumah, maka di rumahlah diletakkan dasar perilaku dan sikap
sosialnya kelak. Terdapat sedikit bukti yang menyatakan bahwa sikap social atau
antisocial merupaan sikap bawaan. “Pengalaman inersaksi sosial di dalam
keluarga turut menentukan menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap
orang lain. Apabila interaksi sosialnya di dalam keluarga tidak lancar, maka
besar kemungkinannya bahwa interaksi sosialnya di dalam dengan masyarakat juga
berlangsung dengan tidak lancar (Ahmadi, 2002). Apakah seseorang menjadi
terikat ke luar atau ke dalam (ekstrovert atau introvert) bergantung terutama
pada pengalaman-pengalaman sosial awal.
Mengapa dasar-dasar
sosial yang di sini sangat penting adalah bahwa sekali terbentuk dasar-dasar
itu cenderung menetap kalau anak-anak menjadi lebih besar. Anak yang pada saat
bayi sering menangis, cenderung agresif dan menunjukan perilaku-perilaku yang
mencari perhatian. Sebaliknya, bayi yang ramah dan lebih bahagia biasanya
penyesuaian sosialnya lebih baik apabila telah menjadi besar nanti.
Beberapa reaksi bayi
terhadap orang dewasa antara lain sebagai berikut,
· Dua
sampai tiga bulan
Bayi dapat membedakan manusia dari benda
mati dan bayi tahu bahwa manusialah yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bayi
puas bila berada bersama manusia dan tidak senang bila ditinggal sendiri.
· Empat
sampai lima bulan
Bayi ingin digendong oleh siapa saja
yang mendekatinya. Ia memberikan reaksi yang berbeda kepada wajah-wajah yang
tersenyum, suara-suara yang menunjukan amarah.
· Enam
sampai tujuh bulan
Bayi membedakan “teman” dan “orang-orang
asing” dengan tersenyum pada yang pertama dan memperlihatkan ketakutan akan
kehadiran pada orang yang terakhir. Ini merupakan awal dari “masa lalu”, juga
merupakan permulaan dari “masa terikat”- yaitu masa dimana bayi menunjukan
keterikatan yang kuat kepada ibu pengganti dan berkurangnya keramahtamahan.
· Delapan
sampai sembilan bulan
Bayi mencoba meniru kata-kata, isyarat,
dan gerakan-gerakan sederhana dari orang lain.
· Dua
belas bulan
Bayi mulai bereaksi terhadap larangan
“jangan-jangan”.
· Enam
belas sampai delapan belas bulan
Negativisme, dalam bentuk keras kepala
tidak mau mengikuti permintaan atau perintah dari orang dewasa ditunjukan
dengan perilaku menarik diri atau ledakan amarah.
· Dua
puluh dua sampai dua puluh empat bulan
Bayi bekerja sama dalam sejumlah
kegiatan rutin seperti berpakaian, makan, dan mandi.
Beberapa reaksi sosial
terhadap bayi-bayi lain antara lain sebagai berikut.
· Empat
sampai lima bulan
Bayi mulai menarik perhatian bayi atau
anak lain dengan melambungkan badan ke atas dan ke bawah, menendang, tertawa,
atau bermain dengan ludah.
· Enam
sampai tujuh bulan
Bayi tersenyum terhadap bayi lain dan
menunjukan minat terhadap tangisannya.
· Delapan
sampai tiga belas bulan
Bayi mencoba meramasi pakaian dan rambut
bayi-bayi lain, meniru perilaku dan suara mereka dan bekerja sama dalam
menggunakan mainan, meskipun ia cenderung bingung bila bayi lain mengambil
salah satu mainannya.
· Tiga
belas sampai delapan belas bulan
Berebut
mainan sekarang berkurang dan bayi lebih bekerja sama dalam bermain dan mau
berbagi rasa.
· Delapan
belas sampai dua puluh empat bulan
Bayi
lebih berminat bermain dengan bayi lain dan menggunakan bahan-bahan permainan
untuk membentuk hubungan sosial dengannya.
3.4 Bahaya-Bahaya dalam Perkembangan
Masa Bayi
Karena masa bayi
merupakan dasar, maka masa itu khususnya merupakan bahaya bagi bayi. Bahaya itu
merupakan bahaya fisik dan psikologis atau keduanya. Dalam tahun pertama dalam
masa bayi, bahaya fisik cenderung lebih banyak dan lebih parah daripada
bahaya-bahaya psikologis. Dalam tahun kedua terjadi sebaliknya. Keduanya
merupakan bahaya yang serius, jadi sedapat mungkin harus dicegah dan segala
sesuatu harus dilakukan untuk memperkecil intensitasnya kalau memang bahaya itu
terjadi.
3.4.1 Bahaya Fisik
Beberapa bahaya fisik
dalam perkembangan masa bayi antara lain sebagai berikut.
1. Kematian
Meredith telah melaporkan bahwa kematian banyak terjadi selama tiga bulan
daripada sesudahnya dan kurang lebih dari dua pertiganya terjadi dalam bulan
pertama.
2. Kematian
Ranjang
Bayi yang kelihatan sehat dan normal
kadang-kadang menjadi korban kematian mendadak dan tidak diduga. Sampai
sekarang ilmu medis belum dapat mengetahui apa penyebab kematian yang disebut
kematian ranjang. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa hal ini terjadi
pada bayi yang mengalami ketidaknormalan pada pernafasan atau mempunyai kondisi
tidak normal pada waktu lahir seperti sakit kuning. Kematian ini sering terjadi
pada tahun pertama masa bayi daripada tahun kedua.
3. Penyakit
Meskipun benar bahwa banyak kematian
dalam bulan-bulan pertama disebabkan karena penyakit separti gastrointestinal
atau komplikasi pernafasan, tetapi jumlah kematian yang dulu disebabkan karena
penyakit parah sekarang jauh lebih berkurang karena sekarang bayi diberi
suntikan dan vaksinasi untuk memperkebal tubuh tehadap penyakit.
4. Kecelakaan
Pada tahun pertama kecelakaan tidak
banyak terjadi karena bayi sangat terlindungi dalam tempat tidur. Namun dalam
tahun kedua pada saat bayi dapat bergerak lebih bebas dan tidak sangat
dilindungi, kecelakaan lebih sering terjadi.
5. Kurangnya
gizi
Kekurangan gizi dapat disebabkan karena
kurang makan atau diet yang tidak seimbang, tidak saja dapat merusak
pertumbuhan fisik tetapi juga merusak perkembangan mental. Kalau pertumbuhan
dan perkembangan otak terganggu anak tidak dapat mencapai potensi-potensi
intelektualnya.
6. Dasar
untuk menjadi gemuk
Banyak orang tua menyamakan arti sehat
dengan bayi yang montok dan mereka berusaha dengan segala macam cara agar
anaknya gemuk. Berbagai telaah medis menunjukkan bahwa ada 3 periode kritis
dalam perkembangan sel-sel lemak. Yang pertama 3 bulan sebelum kelahiran, yang
ke 2 dalam 3 tahun pertama setelah lahir, dan yang ke 3 selama awal masa
remaja.
3.4.2 Bahaya yang Umum dalam Membentuk
Kebiasaan Fisiologis
Beberapa bahaya yang
umum dalam membentuk kebiasaan fisiologis antara lain sebagai berikut.
1. Kebiasaan
makan
Bayi yang menetek terlampau lama
menunjukkan tanda-tanda tegang. Mereka lebih lama terlibat dalam kegiatan
menghisap ibu jari. Lebih banyak mengalami kesulitan tidur dan lebih gelisah
daripada bayi yang menetek lebih singkat.
2. Kebiasaan
tidur
Menangis, permainan yang berat dengan
orang dewasa atau kegaduhan dapat membuat anak menjadi tegang dan sulit tidur.
Jadwal tidur yang tidak memenuhi persyaratan membuat bayi tegang dan menolak
tidur.
3. Kebiasaan
pembuangan
Kebiasaan ini tidak dapat dibentuk
sebelum saraf dan otot-otot berkembang dengan baik. Mencoba melatih pembuangan
terlampau awal membuat bayi tidak mau bekerja sama dalam membentuk kebiasaan
ini kalau ia sudah matang nantinya.
3.4.3 Bahaya Psikologis
Beberapa bahaya
psikologis dalam masa bayi disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1. Bahaya
dalam berbicara
Kelambatan dalam berbicara, seperti
halnya kelambatan dalam pengendalian motorik menjadi serius dalam masa bayi
karena pada masa ini diletakkan dasar- dasar untuk alat komunikasi. Kelambatan
berbicara disebabkan karena beberapa hal, yang paling sering adalah tingkat
intelegensi yang rendah, kurangnya perangsang (terutama dalam tahun pertama).
2. Bahaya
emosi
Terdapat empat bahaya psikologis umum
yang sering muncul dalam hubungan perkembangan emosi dalam masa bayi,
yaitu:
· Kurangnya
kasih sayang
· Tekanan
· Terlampau
banyak kasih sayang
· Emosi
yang kuat
3. Bahaya
sosial
Bahaya sosial yang utama adalah
kurangnya kesempatan dan motivasi untuk belajar menjadi sosial. Karena kurangnya
kesempatan dalam hubungan sosial dapat mempengaruhi perkembangannya
dalam pola sosialisasi. Yang juga berbahaya adalah penyakit sosial “malu”,
bahwa sifat ini terbawa sejak bayi dimana mereka dihadapkan pada terlalu banyak
orang asing dan pengasuh asing.
4. Bahaya
moralitas
Bahaya psikologis yang serius untuk
perkembangan moral di masa depan terjadi bila bayi lebih banyak mendapatkan
perhatian kalau dia melakukan sesuatu yang mengganggu atau melawan orang lain
daripada kalau melakukan tindakan yang lebih diterima.
5. Bahaya
dalam perkembangan kepribadian
Konsep diri yang sedang berkembang
merupakan cermin dari tanggapan bayi mengenai pandangan orang tentang dirinya.
6. Bahaya
bermain
Orang tua perlu berhati-hati dalam
memberikan suatu mainan bagi si bayi. Karena ada beberapa mainan dapat
menyebabkan luka pada si bayi jika ia tidak hati-hati dalam memainkannya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal berikut.
1. Masa
bayi berlangsung selama dua tahun pertama kehidupan setelah periode bayi baru
lahir selama dua minggu. Masa bayi sering dianggap sebagai keadaan tidak
berdaya di mana bayi setiap hari belajar untuk semakin mandiri, sehingga di
akhir masa bayi dikenal sebagai anak kecil yang baru belajar berjalan. Masa
bayi adalah masa dasar yang sesungguhnya, meskipun seluruh masa anak-anak
merupakan masa dasar.
2. Berikut ini adalah
ciri-ciri yang paling penting
· Masa
bayi adalah masa dasar yang sesungguhnya
· Masa
bayi adalah masa di mana pertumbuhan dan perubahan berjalan pesat
· Masa
bayi adalah masa berkurangnya ketergantungan
· Masa
bayi adalah masa meningkatnya individualitas
· Masa
bayi adalah permulaan sosialisasi
· Masa
bayi adalah permulaan berkembangnya penggolongan peran seks
· Masa
bayi adalah masa yang menarik
· Masa
bayi adalah permulaan kreativitas
· Masa
bayi adalah masa berbahaya
3. Beberapa
tugas yang harus dipenuhi selama rentang kehidupan pada masa bayi antara lain
sebagai berikut.
a Belajar
berjalan pada usia 9.0 – 15.0 bulan.
b Belajar
memakan makan padat.
c Belajar
berbicara.
d Belajar
buang air kecil dan buang air besar.
e Belajar
mengenal perbedaan jenis kelamin.
f Mencapai
kestabilan jasmaniah fisiologis.
g Membentuk
konsep-konsep sederhana kenyataan sosial dan alam.
h Belajar
mengadakan hubungan emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.
i Belajar
mengadakan hubungan baik dan buruk dan pengembangan kata hati.
4. Bahaya-bahaya
dalam masa bayi antara lain sebagai berikut.
a. Bahaya
fisik, antara lain:
· Kematian
· Kematian
Ranjang
· Penyakit
· Kecelakaan
· Kurangnya
gizi
· Dasar
untuk menjadi gemuk
b. Bahaya
yang umum dalam pembentukan kebiasaan fisiologis, antara lain:
· Kebiasaan
makan
· Kebiasaan
tidur
· Kebiasaan
pembuangan
c. Bahaya
psikologis, antara lain:
· Bahaya
dalam berbicara
· Bahaya
emosi
· Bahaya
sosial
· Bahaya
moralitas
· Bahaya
dalam perkembangan kepribadian
· Bahaya
bermain
Saran
Berdasarkan kesimpulan
di atas, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut.
1. Orang
tua hendaknya memperhatikan pola makan dan kebutuhan nutrisi bayinya agar si
bayi dapat berkembang dengan baik dan normal.
2. Orang
tua hendaknya mengetahui dan memahami tugas-tugas perkembangan anak pada setiap
fase kehidupan, sehingga dapat menerapkan dan memastikan bahwa anaknya telah
dapat menyelesaikan semua tugas perkembangannya sesuai dengan rentang usia pada
setiap fase tersebut.
3. Orang
tua hendaknya mengasuh anaknya sendiri dan tidak diserahkan pada pengasuh atau
orang lain, terutama pada perkembangan masa bayi sampai awal masa kanak-kanak.
4. Orang
tua hendaknya senantiasa mengawasi anak pada saat bermain dan memastikan bahwa
permainan anaknya tidak berbahaya, dan tidak terpengaruh oleh lingkungan yang
buruk.
5. Bagi
para pembaca hendaknya lebih memahami tugas-tugas perkembangan anak, sehingga
dapat menerapkan pola asuh yang tepat pada anak mereka masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth.Edisi Kelima. Psikologi
perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Langganan:
Postingan (Atom)