Rabu, 03 April 2013

Landasan Psikologis BK




BAB I
PENDAHULUAN

Di lingkungan pendidikan (Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi) yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling adalah peserta didik (siswa atau mahasiswa). Peserta didik merupakan pribadi-pibadi yang sedang berada dalam proses berkembang ke arah kematangan. Masing-masing peserta didik memiliki karakteristik pribadi yang unik. Dalam arti terdapat perbedaan individual diantara mereka, seperti menyangkut aspek kecerdasan, emosi, sosiabilitas, sikap, kebiasaan, dan kemampuan penyesuaian diri.
Peserta didik sebagai individu yang dinamis dan berada dalam proses perkembangan, memiliki kebutuhan dan dinamika dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Di samping itu, peserta didik senantiasa mengalami berbagai perubahan dalam sikapdan tingkah lakunya.
Proses perkembangan tidak selalu berlangsung secara linier (sesuai dengan arah yang di harapkan atau norma yang dijunjung tinnggi), tetapi bersifat fluktuatif dan bahkan terjadi stagnasi atau diskontinuitas perkembangan. Dalam proses pendidikan, peserta didik pun tidak jarang mengalami masalah stagnasi perkembangan, sehingga menimbulkan masalah-masalah psikologis, seperti terwujud dalam perilaku menyimpang (delinquency) atau bersifat infantilitas (kekanak-kanakan).
Agar perkembangan peserta didik itu dapat berlangsung dengan baik, dan terhindar dari munculnya masalah-masalah psikologis, maka mereka perlu diberikan bantuan yang sifatnya pribadi. Bantuan yang dapat memfasilitasi perkembangan peserta didik melalui pendekatan psikologis adalah layanan bimbingan dan konseling. Bagi konselor memahami aspek-aspek  psikologis pribadi konseli merupakan tuntutan yang mutlak, karena pada dasarnya layanan bimbingan dan konseling merupakan upaya untuk memfasilitasi perkembangan aspek-aspek psikologis pribadi atau perilaku konseli, sehingga mereka memiliki pencerahan diri dan mampu memperoleh kehidupan yang bermakna (kehidupan yang maslahat dan sejahtera), baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Pada uraian berikut dibahas beberapa aspek  psikologis dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pribadi yang perlu dipahami oleh konselor atau pembimbing agar dapat memberikan layanan bimbingan dan konseling secara    akurat dan bijaksana, dalam upaya memfasilitasi individu atau peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara optimal.
 
           
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Motif
a.      Pengertian Motif
1)      Sartain mengartikan motif sebagai “A complex state within an organism thah directs behavior toward a goal or incentive.” (Suatu keadaan  yang kompleks dalam organisme [individu] yang mengarahkan perilakunya kepada satu tujuan atau insentif).
2)      J.P. Chaplin  mengemukakan, bahwa motif itu adalah “ A state of tension within the in which arouses, maintains and direct behavior toward a goal.” (Suatu kekuatan dalam diri individu yang melahirkan, memelihara dan mengarahkan perilaku kepada suatu tujuan).
3)      Sigmun Freud berpendapat bahwa motif merupakan energi dasar (instink) yang mendorong tingkah laku individu. Instink ini oleh Sigmun Freud dibagi dua, yatu sebagai berikut:
a)      Instink kehidupan atau instink seksual atau libido, yaitu dorongan untuk mempertahankan dan mengembangkan keturunan.
b)      Instink yang mendorong perbuatan-perbuatan agresif atau yang menjurus kepada kematian.
4)      Abin Syamsudin Makmun mengartikan motif sebagai “suatu keadaan yang kompleks (a complex state) dan kesiapsediaan (preparatory set) dalam diri individu (organisme) untuk bergerak (to move, motion, motive) ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari. Dari pengertian tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa setiap kegiatan (aktivitas individu) selalu ada kekuatan yang mendorongnya dan selalu mengarah kepada suatu tujuan. Kekuatan yang mendorong dan mengarahkan perilaku itu disebut motif. Sebenarnya ada istilah lain yang mempunyai pengertian yang hampir bersamaan dengan motif itu yaitu drives dan needs.
Untuk melihat perbedaan antara ketiga istilah tersebut Moh. Surya dan Nana Syaodih Sukmadinata memberikan penjelasannya sebagai berikut:
Drives terutama digunakan untuk dorongan-dorongan dasar atau kebutuhan dasar seperti : makan, minum, perlindungan, seks, dan lain-lain. Needs digunakan dalam pengertian bila pada individu adanya satu kekurangan. Sedangkan motive dipergunakan untuk dorongan-dorongan selain yang termasuk drives dan needs.
Meskipun ketiga istilah itu dapat dibedakan, tapi dalam aktivitas ndividu tidak dapat dipsahkan, karena ketiganya merupakan satu kesatuan yang melahirkan perilaku individu. Bahkan dalam banyak pembahasan ketiga istilah tersebut dipergunakan dalam pengertian yang sama.
Untuk menjelaskan hubungan ketiga istilah tersebut dalam suatu perilaku individu, SarlitoWirawan Sarwono menggambarkannya sebagai berikut:
Suatu perbuatan dimulai dengan ketidakseimbangan dalam diri individu, misalnya lapar atau takut. Keadaan ketidakseimbangan ini tidak menyenangkan bagi individu yang bersangkutan, sehingga timbul kebutuhan untuk meniadakan ketidakseimbangan itu, misalnya mencari makanan atau perlindungan. Kebutuhan inilah yang akan menimbulkan dorongan atau motif untuk berbuat sesuatu.
Setelah perbuatan itu dilakukan maka terciptalah keadaan seimbang dalam diri individu, dan timbul perasaan puas, gembira, aman dan sebagainya. Kecenderungan untuk mengusahakan keseimbangan dalam diri manusia disebut prinsip homeostatis.
b.      Pengelompokan Motif
Ada beberapa macam pengelompokan yang dikemukakan oleh para ahli. Meskipun penamaannya nampak berbeda, namun isinya mempunyai banyak kesamaan antara satu sama lainnya. Pengelompokan itu diantaranya sebagai berikut:
Pertama, pengelompokan motif primer dan sekunder.
1)      Motif Primer
Motif primer disebut juga motif dasar (basic motive) atau biological drives (karena berasal dari kebutuhan-kebutuhan biologis). Motif ini menunjukkan kepada motif yang tidak dipelajari (unlearned motive). Dengan kata lain motif ini bersifat naluriah (instinktif) motif primer meliputi:
a.       Dorongan fisiologis (physiological drive) motif ini bersumber pada kebutuhan organis (organic needs) yang meliputi:
(1)   Dorongan untuk makan, minum, dan bernapas;
(2)   Dorongan untuk mengembangkan keturunan (sex drives);
(3)   Dorongan untuk beristirahat dan bergerak, dan sebagainya.
b.      Dorongan umum dan motif darurat.
Walaupun pada dasarnya motif ini telah ada sejak lahir, namun bentuk-bentuknya yang sesuai dengan perangsang tertentu berkembang karena dipelajari. Yang termasuk motif ini diantaranya meliputi:
(1)   Perasaan takut;
(2)   Dorongan kasih sayang;
(3)   Dorongan ingin tahu;
(4)   Dorongan untuk melarkan diri (escape motive);
(5)   Dorongan untuk menyerang (combat motive);
(6)   Dorongan untuk berusaha (effort motive);
(7)   Dorongan untuk mengejar (pursuit motive).
2)      Motif Sekunder
Motif ini seringkali disebut juga motif yang disyaratkan secara sosial, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia, sehingga motif ini disebut juga motif sosial. Motif sekunder (sosial) ini merupakan motif yang dipelajari (learned motive), dalam arti motif ini berkembang karena pengalaman.
Dalam perkembangannya motif ini dipengaruhi oleh tingkat peradaban, adat istiadat, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tempat individu itu berada. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain:
(1)   Dorongan untuk belajar ilmu pengetahuan;
(2)   Dorongan untuk mengejar suatu kedudukan (status);
(3)   Dorongan berprestasi ( achievement motive);
(4)   Motif-motif objektif (eksplorasi, manipulasi dan menaruh minat);
(5)   Dorongan ingin diterima, dihargai, persetujuan, merasa aman;
(6)   Dorongan untuk dikenal, dan sebagainya.
Kedua, pengelompokan motif menurut Woodwort dan Marquis.
Motif itu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Motif atau kebutuhan organis, seperti: kebutuhan untuk makan, minum, bernapas, seksual, beristirahat dan bergerak.
b.      Motif darurat, seperti: motif untuk menyelamatkan diri, membalas, mengejar (memburu), berusaha, dan menyerang.
c.       Motif objektif yaitu sebagai berikut:
(1)   Motif untuk melakukan eksplorasi atau motif menyelidiki tujuan motif ini adalah untuk memperoleh sesuatu kebenaran yang lebih objektif.
(2)   Motif manipulasi, yaitu dorongan untuk menggunakan sesuatu dari lingkungan, sehingga dapat berguna bagi dirinya dalam memelihara kelangsungan hidupnya.
(3)   Motif interest (minat) yaitu dorongan untuk memusatkan kegiatan dan perhatian terhadap suatu objek yang banyak bersangkutan dengan diri individu. Misalnya yang berhubungan dengan olahraga, kesenian dan keterampilan tertentu.
Ketiga, pengelompokan motif  berdasarkan atas jalarannya. Pengelompokan ini dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut:
1)      Motif intrinsik, yaitu motif yang tidak usah dirangsang dari luar, karena memang dari dalam diri individu sendiritelah ada dorongan itu. Misalnya seorang mahasiswa yang rajin beribadah kepada Allah, bukan karena takut pada orang tua atau malu pada teman-temannya, tapi karena niat atau keikhlasan yang telah tumbuh dalam dirinya. Contoh lain umpamanya, rajin membaca atau rajin belajar, bukan karena dianggap malas, tapi karena hal itu sudah menjadi kebutuhan atau kegemarannya.
2)      Motif ekstrinsik, yaitu motif yang disebabkan oleh pengaruh rangsangan dari luar. Misalnya mahasiswa sibuk belajar karena diberitahu bahwa seminggu lagi akan ujian. Contoh lainnya, seorang mahasiswa rajin pergi kuliah, karena pacarnya kebetulan sekelas dengannya, sehingga dia merasa malu kalau jarang pergi kuliah.
Keempat, pengelompokan motif berdasarkan isi ataupersangkutpautannya, yaitu sebagai berikut:
1)      Motif jasmaniah, seperti refleks, instink, dan sebagainya.
2)      Motif rohaniah, yaitu kemauan.
Kelima, menurut Abraham H. Maslow motif-motif itu mempunyai saling hubungan berjenjang, artinya suatu motif timbul kalau motif yang mempunyai jenjang yang paling rendah telah terpenuhi.
Pengelompokan motif dari jenjang yang paling rendah ke jenjang paling tinggi adalah sebagai berikut:
1)      Kebutuhan biologis (physiological needs).
2)      Kebutuhan rasa aman (safety/ security needs).
3)      Kebutuhan sosial/ afiliasi (sosial/ affiliation needs).
4)      Kebutuhan akan pemuasan harga diri (self esteem).
5)      Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization).
Pengenalan jenjang kebutuhan itu merupakan hal yang sangat penting bagi pemahaman sesama manusia, baik dalam pergaulan perseorangan maupun dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.
c.       Pengukuran Motif
Motif bukan merupakan benda yang secara langsung dapat diamati, tetapi merupakan suatu kekuatan dalam diri individu yang bersifat abstrak. Oleh karena itu, dalam mengukurnya, yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi beberapa indikator, yaitu sebagai berikut:
1)      Durasi kegiatannya (berapa lama kemampuan menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan).
2)      Frekuensi kegiatannya (sering tidaknya kegiatan itu dilakukan dalam periode waktu tertentu).
3)      Persistensinya (ketetapan atau kelekatannya) pada tujuan kegiatan yang dilakukan.
4)      Devosi (pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran, bahkan jiwanya) untuk mencapai tujuan.
5)      Ketabahan, keuletan, dan kemauannya dalam menghadapi rintangan dan kesulitan untuk mencapai tujuan.
6)      Tingkatan aspirasinya (maksud, rencana, cita-citanya) yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan.
7)      Tingkat kualifikasi dari prestasi, produk atau output yang dicapai dari kegiatannya (berapa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau tidak).
8)      Arah sikapnya terhadap sasaran kegiatannya (like or dislike, positif atau negatif).
d.      Beberapa Usaha Untuk Membangkitkan atau Memperkuat Motif
1)      Menciptakan situasi kompetisi yang sehat. Kompetisi (persaingan) itu baik dengan prestasi sendiri (self competition) maupun dengan prestasi orang lain (competition with other).
2)      Adakan pacemaking, yaitu usaha untuk merinci tujuan jangka panjang menjadi beberapa tujuan jangka pendek.
3)      Menginformasikan tujuan yang jelas, apabila suatu tujuan kegiatan itu sudah jelas dan sesuai dengan kebutuhan, maka motif individu untuk melakukan kegiatan itu akan bertambah besar.
4)      Memberikan ganjaran, dalam hal tertentu ganjaran dan hadiah dapat juga dberikan, yaitu dalam bentuk penghargaan, seperti pemberian pujian, piagam, fasilitas, kesempatan, promosi, dan sebagainya.
5)      Memberi kesempatan untuk sukses. Keberhasilan suatu kegiatan (sukses) dapat menimbulkan rasa puas, senang dan percaya diri. Oleh karena itu, agar motif individu tetap besar maka sebaiknya individu diberi kesempatan untuk sukses, atau diberi tahu tentang keberhasilan (kesuksesan) yang telah diperolehnya.
Pemahaman konselor tentang motif, jenis motif, dan upaya untuk mengembangkan motif merupakan salah satu dasar bagi konselor untuk mengidentifikasi berbagai motif yang mendasari perilaku siswa. Dengan dipahaminya berbagai motif yang mendasari perilaku siswa, konselor akan terbantu dalam mengidentifikasi berbagai alternatif bantuan yang relevan dengan motif siswa tersebut.
B.     Konflik dan Frustasi
a.      Konflik
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang individu menghadapi beberapa macam motif yang saling bertentangan. Dengan demikian individu berada dalam keadaan konflik psikis, yaitu suatu pertentangan batin, suatu kebimbangan, suatu keragu-raguan, motif mana yang akan diambilnya. Motif-motif yang dihadapi individu itu, mungkin semuanya positif atau mungkin negatif, dan mungkin juga campuran antara motif positif dengan negatif. Sehubungan dengan hal tersebut maka konflik itu dapat dibedakan kedalam 3 jenis yaitu sebagai berikut:
1)      Konflik mendekat-mendekat, yaitu kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi 2 motif positif yang sama kuat. Motif positif ini maksudnya adalah motif yang disenangi atau yang diinginkan individu. Contohnya seorang mahasiswa yang harus memilih antara mengikuti ujian akhir semester dengan melaksanakan tugas dari kantortempat dia bekerja.
2)      Konflik menjauh-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi 2 motif negatif yang sama kuat. Motif negatif ini adalah motif yang tidak disenangi individu. Contohnya seorang terdakwa yang harus memilih bentuk hukuman yang dijatuhkan kepadanya, yaitu antara masuk penjara atau membayar uang yang jumlahnya tidak mungkin terjangkau.
3)      Konflik mendekat menjauh adalah kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi satu situasi mengandung motif positif dan negatif sama kuat. Contohnya seorang pelajar putridari sebuah SMA menghadapi 2 masalah yang sama kuat. Salah satu dari masalah tersebut harus dipilih menjadi suatu keputusan. Kedua masalah yang harus dipilih itu adalah memakai jilbab atau dikeluarkan dari sekolah. Memakai jilbab merupakan motif positif bagi siswi tersebut (karena keinginannya), sedangkan dikeluarkan dari sekolah merupakan motif negatif (karena siswi tersebut tidak menginginkannya).
Di samping ketiga jenis konflik di atas, juga terdapat konflik ganda (double approach-avoidance conflict). Yaitu konflik psikis yang dialami individu dalam menghadapi dua situasi atau lebih yang masing-masing mengandung motif positif dan negatif sekaligus dan sama kuat. Misalnya seorang siswi lulusan salah satu SLTA, menghadapi kebingungan karena harus memilih antara melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau menikah. Sedangkan calon suaminya itu, tidak disenanginya, karena atas dasar pilihan orang tuanya. Dia tidak mau menikah dengan pilihan orang tuanya (negatif). Tetapi dia tidak mau menyakiti hati orang tuanya (positif). Di pihak lain ia ingin melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi (positif), teetapi ia takut tidak diizinkan oleh orang tuanya sendiri (negatif).  
b.      Frustasi
Apabila seorang siswa atau mahasiswa melakukan suatu kegiatan, umpamanya mengikuti ujian akhir semester,dan ternyata lulus (tercapainya tujuan yang diharapkan), maka dia akan merasa puas dan bahagia. Tetapi apabila ternyata kegiatannya itu tidak mencapai tujuan yang diharapkan (ujian akhirnya tidak lulus), maka ia akan merasa kecewa. Kegagalan individu dalam mencapai keinginan akan menyebabkan kekecewaan pada diri individu tersebut. Jika kekecewaan tersebut berulang-ulang, dan mengganggu keseimbangan psikisnya, baik emosi maupun tindakannya, berarti individu tersebut sudah berada dalam situasi frustasi.
Dengan demikian, frustasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam diri individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya keinginan. Pengertian lain dari frustasi adalah “rasa kecewa yang mendalam, karena tujuan yang dikehendaki tak kunjung terlaksana.”
Adapun sumber yang menyebabkan frustasi, mungkin berwujud manusia, benda, peristiwa, keadaan alam dan sebagainya. Lebih jelasnya mengenai sumber frustasi itu, Sarlito Wirawan Sarwono mengelompokkannya menjadi tiga golongan, yaitu sebagai berikut :
1.      Frustasi lingkungan, yaitu frustasi yang disebabkan oleh rintangan yang terdapat dalam lingkungan. Misalnya, seorang pria yang sudah merencanakan perkawinan dengan seorang gadis idamannya, tapi ternyata gadis tersebut meninggal dunia.
2.      Frustasi pribadi, yaitu frustasi yang timbul dari ketidakmampuan orang itu mencapai tujuan. Dengan kata lain frustasi tersebut timbul, karena adanya perbedaan antar keinginan dengan tingkat kemampuannya. Misalnya, seorang siswa SMA bercita-cita ingin menjadi seorang insinyur pertambangan, tapi ternyata dari hasil penjurusan dia harus masuk kelas IPS, karena prestasi belajar di bidang IPA dan Matematika sangat kurang.
3.      Frustasi konflik, yaitu frustasi yang disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri seseorang. Dengan adanya motif-motif yang saling bertentangan, maka pemuasan diri dari salah satunya akan menyebabkan frustasi bagi yang lain.
Reaksi individu terhadap frustasi yang dialaminya berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pada struktur maupun fisik, serta perbedaan sosial kultural dan nilai-niai agama yang dianutnya. Perbedaan reaksi individu terhadap frustasi itu, dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukannya. Ada yang menghadapinya secara rasional, tetapi ada juga yang reaksinya terlalu emosional, yang terwujud dalam bentuk-bentuk tingkah laku yang salah suai atau maladjustment. Adapun wujud dari cara-cara individu dalam mereaksi frustasi itu diantaranya adalah :
1.      Agresi marah (angry agression)
Akibat tujuan yang akan dicapainya mengalami kegagalan, individu menjadi agresif, marah-marah dan merusak, baik terhadap dirinya maupun terhadap sesuatu diluar dirinya. Agresi ini bisa berwujud verbal (marah-maraah) atau non-verbal (seperti membanting pintu, memecahkan barang-barang dan memukul)
2.      Bertindak secara eksplosif
Yaitu dengan jalan melakukan perbuatan yang eksplosif baik dengan perbuatan jasmaniah maupun dengan ucapan-ucapan. Setelah terkuras unek-uneknya semua, biasanya individu itu merasa ketegangan dalam dirinya itu berkurang atau menghilang.
3.      Dengan cara introversi
Yaitu dengan jalan menarik diri dari dunia nyata dan masuk ke dunia khayal. Dalam dunia khayal itu dia membayangkan seolah sudah mencapai tujuannya. Istilah lain reaksi ini adalah melamun (Day dreaming). Jika individu sungguh-sungguh mempercayai yang di khayalkannya itu merupakan kenyataan maka akibatnya timbul waham atau delusi yang seringkali diikuti oleh halusianasi. apabila individu benar-benar sudah lepas dari dunia nyata lama kelamaan introversi berubah menjadi autisme.
4.      Perasaan tak berdaya (Helplessness)
Reaksi ini menunjukkan sikap tak berdaya, patah hati, pasif dan mungkin juga menderita sakit. Reaksi ini berlawanan dengan agresi marah.
5.      Kemunduran (regression)
Reaksi frustasi yang menunjukkan kemunduran dalam tingkah laku, yaitu tingkah laku yang kekanak-kanakan seperti mengisap ibu jari.
6.      Fiksasi (fixation)
Yaitu mengulang kembali sesuatu yang menyenangkan.
7.      Penekanan (repression)
Yaitu reaksi frustasi dengan cara menekan pengalaman traumatis, keinginan, kekesalan atau ketidaksenangan, ke alam tidak sadar.
8.      Rasinalisasi(rationalization)
Yaitu usaha-usaha mencari-cari dalil pada orang lain untuk menutupi kesalahan (kegagalan diri sendiri).
9.      Proyeksi
Dalam reaksi ini individu melemparkan sebab kegagalannya kepada orang lain atau sesuatu di luar dirinya.
10.  Kompensasi
Dalam melakukan kompensasi, individu berusaha untuk menutupi kekurangan atau kegagalannya dengan cara-cara lain yang dianggapnya memadai. Contohnya: meminum minuman keras, pecandu narkoba.
11.  Sublimasi
Mengalihkan tujuan pada tujuan lain yang mempunyai nilai sosial atau etika yang lebih tinggi.

C.    Sikap
Konselor perlu memahami tentang konsep sikap karena sikap sangat mewarnai perilaku individu atau dapat dikatakan bahwa perilaku individu merupakan perwujudan dari sikapnya. Oleh karena itu mengubah tingkah laku individu terlebih dahulu harus diubah sikapnya. Dalam hal ini konselor perlu menyadari bahwa perubahan sikap (dari negatif menjadi positif) merupakan salah satu tujuan dari bimbingan dan konseling. 


a.      Pengertian        
1)      Turstone berpendapat bahwa sikap merupakan suatu tingkatan afeksi baik bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis.
2)      Howard Kendler mengemukakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk mendekat atau menjauhi atau melakukan sesuatu.
3)      Paul Massen, dkk., dan David Krech, dkk. berpendapat sikap itu merupakan suatu sistem dari tiga komponen yang saling berhubungan yaitu kognisi (pengenalan), feeling (perasaan) dan action tendensi (kecenderungan untuk bertindak).
4)      Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan bahwa sikap adalah kesiapan seseorang bertindak terhadap hal-hal tertentu.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kondisi mental yang relatif menetap untuk merespon suatu objek atau perangsang tertentu yang mempunyai arti, baik bersifat positif, netral, atau negatif, menyangkut aspek-aspek kognisi, afeksi, dan kecenderungan untuk bertindak.
Pengertian diatas dapat dijelaskan dengan ilustrasi berikut: seorang mahasiswi muslim setelah mengetahui bahwa memakai jilbab/ busana muslimat itu hukumnya wajib (aspek kognisi), timbul dalam hatinya perasaan senang atau setuju untuk memakai jilbab itu (aspek afeksi), kemudian perasaan tersebut mendorong dirinya untuk memakai jilbab (aspek action tendency).
b.      Unsur (Komponen) Sikap      
1)      Unsur kognisi (cognition)
Unsur ini terddiri atas keyakinan atau pemahaman individu terhadap objek-objek tertentu. Misalnya, sikap kita terhadap perjudian, minuman keras, dan sebagainya. Kita memahami dan meyakini, bahwa perjudian dan minuman keras itu hukumnya haram.
2)      Unsur Afeksi (feeling/ perasaan)
Unsur ini menunjukkan perasaan yang menyertai sikap idividu terhadap suatu objek. Unsur ini bisa bersifat positif (menyenangi) dan negatif (tidak menyenangi). Kita sebagai orang Islam tidak menyenangi perjudian atau minuman keras, karena kita tahu hukumnya haram.
3)      Unsur kecenderungan bertindak (action tendendy)
Unsur ini meliputi seluruh kesediaan individu untuk bertindak/mereaksi terhadap objek tertentu. Bentuk dari kecenderungan bertindak bertindak ini sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur sebelumnya. Misalnya, seorang muslim yang sudah meyakini bahwa judi itu hukumnya haram, dia akan membenci judi tersebut dan dia akan cenderung menjauhinya.
c.       Ciri-ciri Sikap  
Untuk membedakan sikap dengan aspek-aspek psikis lain seperti motif, kebiasaan dan pengetahuan. Sarlito mengemukakan ciri-cirinya sebagai berikut:
·         Dalam sikap, selalu terdapat hubungan anatar subjek dan objek.
·         Tidak ada sikap yang tanpa objek.
·         Objek sikap itu bisa berupa benda, orang, nilai-nilai, pandangan hidup, agama, hukum.
d.      Pembentukan Sikap    
Menurut Sartain, dkk., ada empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu :
1.      Faktor pengalaman khusus
Hal ini berarti, bahwa sikap terhadap suatu objek itu terbentuk melalui pengalaman khusus.
2.      Faktor komunikasi dengan orang lain
Banyak sikap individu yang terbentuk disebabkan oleh adanya komunikasi dengan orang lain. Komunikasi itu baik langsung (face to face) maupun tidak langsung, yaitu melalu media masa, seperti koran, majalah, TV, radio dan sebagainya.
3.      Faktor model
Banyak sikap terbentuk terhadap sesuatu dengan melalui jalan mengimitasi (meniru) suatu tingkah laku yang memadai model dirinya. Seperti perilaku orang tua, seorang anak merasa senang membaca koran, karena melihat ayahnya suka membaca membaca koran.
4.      Faktor lembaga-lembaga sosial
Suatu lembaga dapat juga menjadi sumber yang mempengaruhi terbentuknya sikap, seperti lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan sebagainya.
e.       Perubahan Sikap
McGuire mengemukakan tentang teorinya mengenai perubahan sikap itu sebagai berikut :
1.Learning theory approach (pendekatan teori belajar)
Pendekatan ini beranggapan bahwa sikap itu berubah disebabkan oleh proses belajar atau materi yang dipelajari.
2.Peceptual theory approach (pendekatan teori persepsi)
Pendekatan teori ini beranggapan bahwa sikap seseorang itu berubah bila persepsinya tentang objek itu berubah.
3.Consistency theory approach (pendekatan teori konsisten)
Dasar pemikiran dari pendekatan ini adalah bahwa setiap orang akan berusaha untuk memelihara harmoni intensional yaitu keserasian atau keseimbangan dalam dirinya.
4.Funcional theory approach (pendekatan teori fungsi)
Menurut pendekatan teori ini bahwa sikap seseorang itu akan berubah atau tidak sangat bergantung pada hubungan fungsional (kemanfaatan) objek itu bagi dirinya atau pemenuhan kebutuhan dirinya.

D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia ini membawa hereditas tertentu. Ini berarti bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. Karakteristik tersebut menyangkut fisik (seperti: struktur tubuh, warna kulit, dan bentuk rambut) dan psikis atau sifat-sifat mental (seperti: emosi, kecerdasan, dan bakat).
Hereditas atau keturunan merupakan aspek individu yang bersifat bawaan dan memiliki potensi untuk berkembang. Seberapa jauh perkembangan individu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung pada kualitas hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan merupakan faktor penting disamping hereditas yang menentukan perkembangan individu. Lingkungan itu meliputi fisik, psikis, sosial, dan religius.
a.      Hereditas (Keturunan  )
Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai “totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anaknya, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (masa pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui gen-gen.”
Yang diturunkan orang tua kepada anak adalah sifat strukturnya, bukan tingkah laku yang diperoleh (hasil belajar atau pengalaman). Penurunan sifat-sifat dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah melalui prinsip-prinsip berikut:
1)      Reproduksi, yaitu bahwa penurunan sifat itu hanya berlangsung dengan melalui sel benih.
2)      Konformitas, yaitu proses penurunan sifat itu mengikuti pola dari jenis (spesies) generasi sebelumnya, misalnya manusia menurunkan sifat-sifat manusia pada anaknya.
3)      Variasi, yaitu bahwa proses penurunan sifat-sifat itu akan terjadi beraneka (bervariasi). Antara kakak dengan adik akan terdapat perbedaan, meskipun berasal dari orang tua yang sama.
4)      Regresi filial, yaitu bahwa penurunan sifat atau ciri-ciri itu cenderung ke arah rata-rata.
b.      Lingkungan
Lingkungan adalah segala hal yang mempengaruhi individu, sehingga individu itu terlibat/ terpengaruh karenanya. Semenjak masa konsepsi dan masa-masa selanjutnya, perkembangan individu dipengaruhi oleh mutu makanan yang diterimanya, temperatur udara sekitarnya, suasana dalam keluarga, sikap-sikap orang sekitar, hubungan dengan sekitarnya, suasana pendidikan (formal, informal, nonformal). Dengan kata lain, individu akan menerima pengaruh dari lingkungan, memberi respon kepada lingkungan, mencontoh atau belajar tentang berbagai hal dari lingkungan.
Urie Bronfrenbrenner & Ann Crouter (Sigelman & Shaffer, 1995:86) mengemukakan bahwa lingkungan perkembangan merupakan “berbagai peristiwa, situasi atau kondisi di luar organisme yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perkembangan ndividu”. Lingkungan ini terdiri atas:
(a)    Fisik, yaitu meliputi segala sesuatu dari molekul yang ada sekitar janin sampai sebelum lahir.
(b)   Sosial, yaitu meliputi seluruh manusia yang secara potensial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan individu.
Selanjutnya Urie Bronfrenbrenner (Sigelman & Shaffer, 1995: 87-88; Vasta, Haith & Miller, 1992: 54-56) mengemukakan tentang lapisan lingkungan, yaitu sebagai berikut:
a)      Microsystem, merupakan lingkungan yang paling dekat kepada individu, seperti keluarga, sekolah, dan kelompok teman sebaya. Lapisan ini terdiri dari lingkunag fisik dan orang (seperti menyangkut status sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan orang tua).
b)      Mesosystem, merujuk kepada hubungan antar microsystem, seperti hubungan orang tua dengan guru, dan hubungan saudara dengan teman tetangga.
c)      Exosystem, seperti tempat kerja orang tua, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
d)     Macrosystem, yaitu lingkungan dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, seperti menyangkut keyakinan atau sistem kepercayaan, sikap-sikap, dan tradisi.
Lingkungan perkembangan yang akan dibahas berikut adalah menyangkut lingkungan keluarga, sekolah dan kelompok sebaya.
1)      Lingkungan Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pribad anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapeaka kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak (kandungan QS Attahrim: 6). Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya bersabda “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidullah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi yahudi, nasrani, dan majusi” (HR. Bukhori & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988).
Berkenaan dengan peran orang tua dalam mendidik anak, Imam Al- Ghazali dalam kitab Ikhtisar Ihya Ulumuddin terjemahan Mochtar Rasjidi dan Mochtar Jahja (1966: 189) mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya pendidikan yang diberikan kepadanya.
2)      Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986: 322) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berfikir, bersikap, maupun cara berprilaku.sekolah berperan sebagai substitusi keluarga, dan guru substitusi orang tua. Ada beberapa alasan, mengapa sekolah memainkan peranan yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu:
·         Para sisiwa harus hadir di sekolah.
·         Sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan masa perkembangan “konsep diri” nya.
·         Anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada di tempat lain di luar rumah.
·         Sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses.
·         Sekolah memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistik.
Menurut Havighurst (1961: 5) sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu, sekolah seyogianya berupaya untuk menciptakan iklim yang kondusif, atau kondisi yang dapat memfasilitasi siswa (yang berusia remaja) untuk mencapai tugas perkembangannya.
 Tugas-tugas perkembangan remaja itu menyangkut aspek-aspek kematangan dalam berinteraksi sosial, kematangan personal, kematangan dalam mencapai filsafat hidup, dan kematangan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3)      Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kolompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting  bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting, terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa dekade terakhir in, yaitu:
·         Perubahan struktur keluarga, dari keluarga besar ke keluarga kecil.
·         Kesenjangan antara generasi muda.
·         Ekspansi jaringan komunikasi diantara kawula muda.
·         Panjangnya masa atau penundaan memasuki masyarakat orang dewasa.
Adapun kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, adalah sebagai berikut:
a)      Sosial kognition: kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain, memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya.
b)      Konformitas: motif untuk memnjadi sama, sesuai, atau seragam dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya.berdasarkan survei nasional terhadap remaja di Amerika, ditemukan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi populer dan konformitas (Conger, 1983: 328-329).
Mengkaji persahabatan dikalangan teman sebaya, banyak hasil penelitian menunjukkan, bahwa faktor utama yang menentukan daya tarik hubungan interpersonal diantara remaja pada umumnya adalah adanya kesamaan dalam minat, nilai-nilai, pendapat, dan sifat-sifat kepribadian. Penelitian Kandel (Adam & Gulllota, 1983: 112) menunjukkan bahwa karakteristik persahabatan remaja adalah dipengaruhi oleh kesamaan usia, jenis kelamin, dan ras. Sedangkan di sekolah dipengaruhi oleh kesamaandalam faktor-faktor harapan/ aspirasi pendidikan, nilai (prestasi belajar), absensi dan pengerjaan tugas-tugas atau pekerjaan rumah. Kandel juga menemukan bahwa kesamaan dalam menggunakan obat-obat terlarang (terutama marijuana) merokok, dan minuman kerasmempunyai pengaruh yang kuat dalam pemilihan teman.
Hasil penelitian lainnya dikemukakan oleh Hans Sebald (Sigelman & Shaffer, 1995: 379) yaitu bahwa teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam memilih cara berpakaian, hobi, perkumpulan, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Peranan kelompok sebaya bagi remaja adalah memberikan kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan keterampilan, dan minat yang relevan dengan usianya, dan (4) saling bertukar perasaan dan masalah.
Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap remaja, ternyata berkaitan erat dengan iklim keluarganya. Dalam iklim keluarga yang sehat, remaja cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif temannya, dibandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orang tuanya kurang baik. Judith Brooks dan koleganya menemukan, bahwa hubungan orang tua dengan remaja yang sehat dapat meilndung remaja tersebut dari pengaruh temannya yang tidak sehat (Sigelman & Shaffer, 1995: 380).
Terhadap dua faktor yang diatas (hereditas dan lingkungan), terdapat perbedaan pendapat para ahli, mengenai faktor mana yang paling mempengaruhi perkembangan individu. Perbedaan pendapat itu adalah:
1)      Nativisme (pembawaan)
Tokohnya Schoupenhower (Jerman). Pendapat aliran ini adalah bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh sesuatu yang telah ada di dalam diri individu yang dibawa sejak lahir (pembawaan). Menurut pendapat ini lingkungan tidak mempunyai peranan terhadap perkembangan individu tersebut.
2)      Empirisme (pengalaman)
Tokohnya John Locke (Inggris). Pendapatnya bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh lingkungan. John Locke, seorang tokoh yang terkenal dengan teorinya “Tabularasa”, yaitu yang menganggap, bahwa anak yang dilahirkan itu bagaikan meja lilin atau kertas putih bersih, yang belum kena coretan apapun.
3)      Konvergensi
Tokohnya William Stern (Jerman). Pendapatnya bahwa pembawaan dan lingkkungan merupakan dua faktor yang sama kuat menentukan perkembangan individu. 
c.       Kematangan
Faktor ketiga yang dipandang mempengaruhi perkembangan individu adalah kematangan. Yang dimaksud dengan kematangan ini adalah “siapnya suatu fungsi kehidupan, baik fisik maupun psikis untuk berkembang dan melakukan tugasnya”.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan antara ketiga faktor tersebut, dapat dilihat dari formula berikut.

P (I) = F (H.E.T/M)

Formula diatas, dapat diterjemahkan sebagai berikut: Person (individu) meruakan hasil (fungsi) dari interaksi antara faktor-faktor Hereditas, Environtment (lingkungan), dan Time/ Maturation (kematangan).

E.     Masalah Perkembangan Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa hederitas tertentu. Hal ini berarti bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orangtuanya. Karakteristik tersebut menyangkut fisik (seperti stuktur tubuh, warna kulit, dan bentuk rambut ) dan psikis atau sifat-sifat mental (seperti emosi, dan kecerdasan).
Herderitas merupakan aspek bawaan dan memiliki potensi untuk berkembang. Seberapa jauh perkembangan individu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung pada kualitas hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan (environment) merupakan faktor penting disamping hereditas yang menentukan perkembangan individu.
Perkembangan dapat berhasil dengan baik, jika faktor-faktor tersebut saling melengkapi. Untuk mencapai perkembangan yang baik harus ada asuhan terarah. Asuhan dalam perkembangan dengan melalui proses belajar sering disebut pendidikan.
Pendidikan sebagai salah satu bentuk lingkungan, bertanggung jawab dalam memberikan asuhan terhadap proses perkembangan individu. Bimbingan dan konseling sebagai komponen pendidikan merupakan pemberian layanan bantuan kepada individu dalam upaya mengembangkan potensi diri atau tugas-tugas perkembanganya (developmental task ) secara optimal.
Tugas-tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada priode tertentu dalam rentang kehidupan individu apabila berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas perkembangan berikutnya. Apabila gagal, maka akan menimbulkan penolakan masyarakat dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas perkembangan berikutnya ( Havighurst, 1961).
Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap prilaku atau ketrampilan yang seyogiyanya dimiliki oleh individu sesuai dengan usia atau fase perkembanganya. Hurlock (1981) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan social expectation (harapan sosial masyarakat). Dalam arti setiap kelompok budaya mengharapkan para anggota menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang di setujui bagi  berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.
Munculnya tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor berikut:
a.       Kematangan fisik, misalnya (1) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, dan (2) belajar bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja ,karena kematangan hormon seksual
b.      Tuntutan masyarakat secara kultural ,misalnya (1) belajar membaca, (2) belajar menulis , (3) belajar menghitung,dan (4) belajar berorganisasi.
c.       Tuntutan dari Dorongan dan cita-cita individu itu sendiri,misalnya (1) memilih pekerjaan,dan (2) memilih tempat hidup.
d.      Tuntutan norma agama ,misalnya(1) taat beribadah kepada Allah, dan(2) berbuat baik kepada sesama manusia.          
Tugas-tugas perkembangan dalam rentang kehidupan individu dapan diuraukan sebagai brikut:                          
a.       Tugas Perkembangan Usia Bayi dan Kanak-kanak (0 – 6 tahun)
1)      Berjalan berjalan.
2)      Belajar memakan makanan padat.
3)      Belajar berbicara.
4)      Belajar buang air kecil dan buang air besar (toilet training).
5)      Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin.
6)      Mencapai kestabilan jasmaniyah fisiologis.
7)      Belajar memahami konsep-konsep sederhana temtang kehidupan sosial dan alam.
8)      Belajar melakukan hubungan emosional dengan orangtua, saudara, dan orang lain.
9)      Belajar mengenl konsep baik dan buruk ( mengembangkan kata hati).
10)  Mengenal konsep, norma atau ajaran agama secara sederhana.

b.      Tugas Perkembangan Usia Sekolah Dasar (7 – 12 tahun)
1)      Belajar memproleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
2)      Belajar membentuk sikap positif, yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai mahluk biologis (dapat merawat keberhasilan dan kesehatan diri ).
3)      Belajar bergaul dengan teman sebaya.
4)      Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.
5)      Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.
6)      Belajar mengembangkan konsep (agama, ilu pengetahuan adat istiadat) sehari-hari.
7)      Belajar mengembangkan kata hati (pemahaman tentang benar, salah, baik-buruk).
8)      Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi (bersikap mandiri).
9)      Belajar mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan sosial.
10)  Mengenal dan mengamalkan ajaran agama sehari-hari.

c.       Tugas Perkembangan Usia Remaja (13 – 19 tahun)
1)      Menerima fisiknya sendiri beikut keragaman kualitasnya.
2)      Mencapai kenandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mempunyai otoritas (mengembangkan sikap respek terhadap orangtua dan orang lain tampa tergantung padanya).
3)      Mengembangkan ketrampilan komunikasi imtrpesonal.
4)      Mampu bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar.
5)      Menemukan manusia model yang dijaikan pusat idetifikasinya.
6)      Memerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadp kemampun sendiri.
7)      Memperoleh self – control  (kemampuan mengendalaikan sendiri) atas dasar sekala nilai, prinip-prinsip atau falsafah hidup.
8)      Mampu meninggalkan reaksi dan penyesualan diri (sikap dan prilaku) yang kekanak –kanakan.
9)      Bertingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
10)  Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.
11)  Memilih dan mempwrsiapakn karir (pekejaan).
12)  Memiliki sikap positif terhadap sikap pernikahan dan hihup berumah tangga.
13)  Mengamalkan ajaran agma yang dianutnya.

d.      Tugas Perkembangan Usia Dewasa Awal (20 – 40 tahun)
1)      Mengembangkan sikap, wawasan dan pengamalan niai-nilai (ajaran) agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar