BAB I
PENDAHULUAN
Di lingkungan pendidikan (Sekolah
Dasar sampai Perguruan Tinggi) yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan
konseling adalah peserta didik (siswa atau mahasiswa). Peserta didik merupakan
pribadi-pibadi yang sedang berada dalam proses berkembang ke arah kematangan.
Masing-masing peserta didik memiliki karakteristik pribadi yang unik. Dalam
arti terdapat perbedaan individual diantara mereka, seperti menyangkut aspek
kecerdasan, emosi, sosiabilitas, sikap, kebiasaan, dan kemampuan penyesuaian
diri.
Peserta didik sebagai individu yang
dinamis dan berada dalam proses perkembangan, memiliki kebutuhan dan dinamika
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Di samping itu, peserta didik
senantiasa mengalami berbagai perubahan dalam sikapdan tingkah lakunya.
Proses perkembangan tidak selalu
berlangsung secara linier (sesuai dengan arah yang di harapkan atau norma yang
dijunjung tinnggi), tetapi bersifat fluktuatif dan bahkan terjadi stagnasi
atau diskontinuitas perkembangan. Dalam proses pendidikan, peserta didik
pun tidak jarang mengalami masalah stagnasi perkembangan, sehingga
menimbulkan masalah-masalah psikologis, seperti terwujud dalam perilaku
menyimpang (delinquency) atau bersifat infantilitas (kekanak-kanakan).
Agar perkembangan peserta didik itu
dapat berlangsung dengan baik, dan terhindar dari munculnya masalah-masalah
psikologis, maka mereka perlu diberikan bantuan yang sifatnya pribadi. Bantuan
yang dapat memfasilitasi perkembangan peserta didik melalui pendekatan
psikologis adalah layanan bimbingan dan konseling. Bagi konselor memahami
aspek-aspek psikologis pribadi konseli merupakan tuntutan yang mutlak,
karena pada dasarnya layanan bimbingan dan konseling merupakan upaya untuk
memfasilitasi perkembangan aspek-aspek psikologis pribadi atau perilaku
konseli, sehingga mereka memiliki pencerahan diri dan mampu memperoleh
kehidupan yang bermakna (kehidupan yang maslahat dan sejahtera), baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Pada uraian berikut dibahas beberapa
aspek psikologis dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pribadi
yang perlu dipahami oleh konselor atau pembimbing agar dapat memberikan layanan
bimbingan dan konseling secara akurat dan bijaksana, dalam
upaya memfasilitasi individu atau peserta didik mengembangkan potensi dirinya
secara optimal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Motif
a.
Pengertian
Motif
1) Sartain mengartikan
motif sebagai “A complex state within an organism thah directs behavior
toward a goal or incentive.” (Suatu keadaan yang kompleks dalam
organisme [individu] yang mengarahkan perilakunya kepada satu tujuan atau
insentif).
2) J.P. Chaplin
mengemukakan,
bahwa motif itu adalah “ A state of tension within the in which arouses,
maintains and direct behavior toward a goal.” (Suatu kekuatan dalam diri
individu yang melahirkan, memelihara dan mengarahkan perilaku kepada suatu
tujuan).
3) Sigmun Freud
berpendapat
bahwa motif merupakan energi dasar (instink) yang mendorong tingkah laku
individu. Instink ini oleh Sigmun Freud dibagi dua, yatu sebagai berikut:
a) Instink
kehidupan atau instink seksual atau libido, yaitu dorongan untuk mempertahankan
dan mengembangkan keturunan.
b) Instink yang
mendorong perbuatan-perbuatan agresif atau yang menjurus kepada kematian.
4) Abin
Syamsudin Makmun mengartikan motif sebagai “suatu keadaan yang kompleks
(a complex state) dan kesiapsediaan (preparatory set) dalam diri
individu (organisme) untuk bergerak (to move, motion, motive) ke arah tujuan
tertentu, baik disadari maupun tidak disadari. Dari pengertian tersebut, dapat
diperoleh gambaran bahwa setiap kegiatan (aktivitas individu) selalu ada
kekuatan yang mendorongnya dan selalu mengarah kepada suatu tujuan. Kekuatan
yang mendorong dan mengarahkan perilaku itu disebut motif. Sebenarnya ada
istilah lain yang mempunyai pengertian yang hampir bersamaan dengan motif itu
yaitu drives dan needs.
Untuk melihat perbedaan antara
ketiga istilah tersebut Moh. Surya dan Nana Syaodih Sukmadinata memberikan
penjelasannya sebagai berikut:
Drives terutama digunakan untuk
dorongan-dorongan dasar atau kebutuhan dasar seperti : makan, minum,
perlindungan, seks, dan lain-lain. Needs digunakan dalam pengertian bila
pada individu adanya satu kekurangan. Sedangkan motive dipergunakan untuk
dorongan-dorongan selain yang termasuk drives dan needs.
Meskipun ketiga istilah itu dapat
dibedakan, tapi dalam aktivitas ndividu tidak dapat dipsahkan, karena ketiganya
merupakan satu kesatuan yang melahirkan perilaku individu. Bahkan dalam banyak
pembahasan ketiga istilah tersebut dipergunakan dalam pengertian yang sama.
Untuk menjelaskan hubungan ketiga
istilah tersebut dalam suatu perilaku individu, SarlitoWirawan Sarwono
menggambarkannya sebagai berikut:
Suatu perbuatan dimulai dengan ketidakseimbangan dalam
diri individu, misalnya lapar atau takut. Keadaan ketidakseimbangan ini tidak
menyenangkan bagi individu yang bersangkutan, sehingga timbul kebutuhan untuk
meniadakan ketidakseimbangan itu, misalnya mencari makanan atau perlindungan.
Kebutuhan inilah yang akan menimbulkan dorongan atau motif untuk berbuat
sesuatu.
Setelah perbuatan itu dilakukan maka
terciptalah keadaan seimbang dalam diri individu, dan timbul perasaan puas,
gembira, aman dan sebagainya. Kecenderungan untuk mengusahakan keseimbangan
dalam diri manusia disebut prinsip homeostatis.
b.
Pengelompokan
Motif
Ada beberapa macam pengelompokan
yang dikemukakan oleh para ahli. Meskipun penamaannya nampak berbeda, namun
isinya mempunyai banyak kesamaan antara satu sama lainnya. Pengelompokan itu
diantaranya sebagai berikut:
Pertama,
pengelompokan motif primer dan sekunder.
1) Motif Primer
Motif primer disebut juga motif
dasar (basic motive) atau biological drives (karena
berasal dari kebutuhan-kebutuhan biologis). Motif ini menunjukkan kepada motif
yang tidak dipelajari (unlearned motive). Dengan kata lain motif ini
bersifat naluriah (instinktif) motif primer meliputi:
a.
Dorongan
fisiologis (physiological drive) motif ini bersumber pada kebutuhan
organis (organic needs) yang meliputi:
(1) Dorongan
untuk makan, minum, dan bernapas;
(2) Dorongan
untuk mengembangkan keturunan (sex drives);
(3) Dorongan
untuk beristirahat dan bergerak, dan sebagainya.
b. Dorongan
umum dan motif darurat.
Walaupun pada dasarnya motif ini telah ada sejak
lahir, namun bentuk-bentuknya yang sesuai dengan perangsang tertentu berkembang
karena dipelajari. Yang termasuk motif ini diantaranya meliputi:
(1) Perasaan
takut;
(2) Dorongan
kasih sayang;
(3) Dorongan
ingin tahu;
(4) Dorongan
untuk melarkan diri (escape motive);
(5) Dorongan
untuk menyerang (combat motive);
(6) Dorongan
untuk berusaha (effort motive);
(7) Dorongan
untuk mengejar (pursuit motive).
2) Motif
Sekunder
Motif ini seringkali disebut juga
motif yang disyaratkan secara sosial, karena manusia hidup dalam lingkungan
sosial dengan sesama manusia, sehingga motif ini disebut juga motif sosial.
Motif sekunder (sosial) ini merupakan motif yang dipelajari (learned motive),
dalam arti motif ini berkembang karena pengalaman.
Dalam perkembangannya motif ini
dipengaruhi oleh tingkat peradaban, adat istiadat, dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat tempat individu itu berada. Yang termasuk dalam golongan ini
antara lain:
(1) Dorongan untuk
belajar ilmu pengetahuan;
(2) Dorongan
untuk mengejar suatu kedudukan (status);
(3) Dorongan
berprestasi ( achievement motive);
(4) Motif-motif
objektif (eksplorasi, manipulasi dan menaruh minat);
(5) Dorongan
ingin diterima, dihargai, persetujuan, merasa aman;
(6) Dorongan
untuk dikenal, dan sebagainya.
Kedua,
pengelompokan motif menurut Woodwort dan Marquis.
Motif itu dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a.
Motif atau
kebutuhan organis, seperti: kebutuhan untuk makan, minum, bernapas, seksual,
beristirahat dan bergerak.
b. Motif
darurat, seperti: motif untuk menyelamatkan diri, membalas, mengejar (memburu),
berusaha, dan menyerang.
c.
Motif
objektif yaitu sebagai berikut:
(1) Motif untuk
melakukan eksplorasi atau motif menyelidiki tujuan motif ini adalah untuk
memperoleh sesuatu kebenaran yang lebih objektif.
(2) Motif
manipulasi, yaitu dorongan untuk menggunakan sesuatu dari lingkungan, sehingga
dapat berguna bagi dirinya dalam memelihara kelangsungan hidupnya.
(3) Motif
interest (minat) yaitu dorongan untuk memusatkan kegiatan dan perhatian
terhadap suatu objek yang banyak bersangkutan dengan diri individu. Misalnya
yang berhubungan dengan olahraga, kesenian dan keterampilan tertentu.
Ketiga,
pengelompokan motif berdasarkan atas jalarannya. Pengelompokan ini dapat
dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut:
1) Motif
intrinsik, yaitu motif yang tidak usah dirangsang dari luar, karena memang dari
dalam diri individu sendiritelah ada dorongan itu. Misalnya seorang mahasiswa
yang rajin beribadah kepada Allah, bukan karena takut pada orang tua atau malu
pada teman-temannya, tapi karena niat atau keikhlasan yang telah tumbuh dalam
dirinya. Contoh lain umpamanya, rajin membaca atau rajin belajar, bukan karena
dianggap malas, tapi karena hal itu sudah menjadi kebutuhan atau kegemarannya.
2) Motif
ekstrinsik, yaitu motif yang disebabkan oleh pengaruh rangsangan dari luar.
Misalnya mahasiswa sibuk belajar karena diberitahu bahwa seminggu lagi akan
ujian. Contoh lainnya, seorang mahasiswa rajin pergi kuliah, karena pacarnya
kebetulan sekelas dengannya, sehingga dia merasa malu kalau jarang pergi
kuliah.
Keempat,
pengelompokan motif berdasarkan isi ataupersangkutpautannya, yaitu sebagai
berikut:
1) Motif
jasmaniah, seperti refleks, instink, dan sebagainya.
2) Motif
rohaniah, yaitu kemauan.
Kelima, menurut
Abraham H. Maslow motif-motif itu mempunyai saling hubungan berjenjang, artinya
suatu motif timbul kalau motif yang mempunyai jenjang yang paling rendah telah
terpenuhi.
Pengelompokan motif dari jenjang
yang paling rendah ke jenjang paling tinggi adalah sebagai berikut:
1) Kebutuhan
biologis (physiological needs).
2) Kebutuhan
rasa aman (safety/ security needs).
3)
Kebutuhan
sosial/ afiliasi (sosial/ affiliation needs).
4)
Kebutuhan
akan pemuasan harga diri (self esteem).
5)
Kebutuhan
aktualisasi diri (self actualization).
Pengenalan
jenjang kebutuhan itu merupakan hal yang sangat penting bagi pemahaman sesama
manusia, baik dalam pergaulan perseorangan maupun dalam kehidupan bermasyarakat
yang lebih luas.
c.
Pengukuran
Motif
Motif bukan merupakan benda yang
secara langsung dapat diamati, tetapi merupakan suatu kekuatan dalam diri
individu yang bersifat abstrak. Oleh karena itu, dalam mengukurnya, yang dapat
dilakukan adalah dengan mengidentifikasi beberapa indikator, yaitu sebagai
berikut:
1) Durasi
kegiatannya (berapa lama kemampuan menggunakan waktunya untuk melakukan
kegiatan).
2) Frekuensi
kegiatannya (sering tidaknya kegiatan itu dilakukan dalam periode waktu
tertentu).
3) Persistensinya
(ketetapan atau kelekatannya) pada tujuan kegiatan yang dilakukan.
4) Devosi
(pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran, bahkan jiwanya) untuk
mencapai tujuan.
5) Ketabahan,
keuletan, dan kemauannya dalam menghadapi rintangan dan kesulitan untuk
mencapai tujuan.
6) Tingkatan
aspirasinya (maksud, rencana, cita-citanya) yang hendak dicapai dengan kegiatan
yang dilakukan.
7) Tingkat
kualifikasi dari prestasi, produk atau output yang dicapai dari kegiatannya
(berapa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau tidak).
8) Arah
sikapnya terhadap sasaran kegiatannya (like or dislike, positif atau
negatif).
d.
Beberapa
Usaha Untuk Membangkitkan atau Memperkuat Motif
1) Menciptakan
situasi kompetisi yang sehat. Kompetisi (persaingan) itu baik dengan prestasi
sendiri (self competition) maupun dengan prestasi orang lain (competition
with other).
2) Adakan pacemaking,
yaitu usaha untuk merinci tujuan jangka panjang menjadi beberapa tujuan
jangka pendek.
3) Menginformasikan
tujuan yang jelas, apabila suatu tujuan kegiatan itu sudah jelas dan sesuai
dengan kebutuhan, maka motif individu untuk melakukan kegiatan itu akan
bertambah besar.
4) Memberikan
ganjaran, dalam hal tertentu ganjaran dan hadiah dapat juga dberikan, yaitu
dalam bentuk penghargaan, seperti pemberian pujian, piagam, fasilitas,
kesempatan, promosi, dan sebagainya.
5) Memberi
kesempatan untuk sukses. Keberhasilan suatu kegiatan (sukses) dapat menimbulkan
rasa puas, senang dan percaya diri. Oleh karena itu, agar motif individu tetap
besar maka sebaiknya individu diberi kesempatan untuk sukses, atau diberi tahu
tentang keberhasilan (kesuksesan) yang telah diperolehnya.
Pemahaman konselor tentang motif,
jenis motif, dan upaya untuk mengembangkan motif merupakan salah satu dasar
bagi konselor untuk mengidentifikasi berbagai motif yang mendasari perilaku
siswa. Dengan dipahaminya berbagai motif yang mendasari perilaku siswa,
konselor akan terbantu dalam mengidentifikasi berbagai alternatif bantuan yang
relevan dengan motif siswa tersebut.
B.
Konflik dan Frustasi
a.
Konflik
Dalam kehidupan sehari-hari,
kadang-kadang individu menghadapi beberapa macam motif yang saling
bertentangan. Dengan demikian individu berada dalam keadaan konflik psikis,
yaitu suatu pertentangan batin, suatu kebimbangan, suatu keragu-raguan, motif
mana yang akan diambilnya. Motif-motif yang dihadapi individu itu, mungkin
semuanya positif atau mungkin negatif, dan mungkin juga campuran antara motif
positif dengan negatif. Sehubungan dengan hal tersebut maka konflik itu dapat
dibedakan kedalam 3 jenis yaitu sebagai berikut:
1) Konflik
mendekat-mendekat, yaitu kondisi psikis yang dialami individu, karena
menghadapi 2 motif positif yang sama kuat. Motif positif ini maksudnya adalah
motif yang disenangi atau yang diinginkan individu. Contohnya seorang mahasiswa
yang harus memilih antara mengikuti ujian akhir semester dengan melaksanakan
tugas dari kantortempat dia bekerja.
2) Konflik
menjauh-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi
2 motif negatif yang sama kuat. Motif negatif ini adalah motif yang tidak
disenangi individu. Contohnya seorang terdakwa yang harus memilih bentuk
hukuman yang dijatuhkan kepadanya, yaitu antara masuk penjara atau membayar
uang yang jumlahnya tidak mungkin terjangkau.
3) Konflik
mendekat menjauh adalah kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi
satu situasi mengandung motif positif dan negatif sama kuat. Contohnya seorang
pelajar putridari sebuah SMA menghadapi 2 masalah yang sama kuat. Salah satu
dari masalah tersebut harus dipilih menjadi suatu keputusan. Kedua masalah yang
harus dipilih itu adalah memakai jilbab atau dikeluarkan dari sekolah. Memakai
jilbab merupakan motif positif bagi siswi tersebut (karena keinginannya),
sedangkan dikeluarkan dari sekolah merupakan motif negatif (karena siswi
tersebut tidak menginginkannya).
Di samping ketiga jenis konflik di
atas, juga terdapat konflik ganda (double approach-avoidance conflict).
Yaitu konflik psikis yang dialami individu dalam menghadapi dua situasi atau
lebih yang masing-masing mengandung motif positif dan negatif sekaligus dan
sama kuat. Misalnya seorang siswi lulusan salah satu SLTA, menghadapi
kebingungan karena harus memilih antara melanjutkan studi ke perguruan tinggi
atau menikah. Sedangkan calon suaminya itu, tidak disenanginya, karena atas
dasar pilihan orang tuanya. Dia tidak mau menikah dengan pilihan orang tuanya
(negatif). Tetapi dia tidak mau menyakiti hati orang tuanya (positif). Di pihak
lain ia ingin melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi (positif), teetapi ia
takut tidak diizinkan oleh orang tuanya sendiri (negatif).
b.
Frustasi
Apabila seorang siswa atau mahasiswa
melakukan suatu kegiatan, umpamanya mengikuti ujian akhir semester,dan ternyata
lulus (tercapainya tujuan yang diharapkan), maka dia akan merasa puas dan
bahagia. Tetapi apabila ternyata kegiatannya itu tidak mencapai tujuan yang
diharapkan (ujian akhirnya tidak lulus), maka ia akan merasa kecewa. Kegagalan
individu dalam mencapai keinginan akan menyebabkan kekecewaan pada diri
individu tersebut. Jika kekecewaan tersebut berulang-ulang, dan mengganggu
keseimbangan psikisnya, baik emosi maupun tindakannya, berarti individu
tersebut sudah berada dalam situasi frustasi.
Dengan demikian, frustasi dapat
diartikan sebagai kekecewaan dalam diri individu yang disebabkan oleh tidak
tercapainya keinginan. Pengertian lain dari frustasi adalah “rasa kecewa yang
mendalam, karena tujuan yang dikehendaki tak kunjung terlaksana.”
Adapun sumber yang menyebabkan
frustasi, mungkin berwujud manusia, benda, peristiwa, keadaan alam dan
sebagainya. Lebih jelasnya mengenai sumber frustasi itu, Sarlito Wirawan
Sarwono mengelompokkannya menjadi tiga golongan, yaitu sebagai berikut :
1. Frustasi
lingkungan, yaitu frustasi yang disebabkan oleh rintangan yang terdapat dalam
lingkungan. Misalnya, seorang pria yang sudah merencanakan perkawinan dengan
seorang gadis idamannya, tapi ternyata gadis tersebut meninggal dunia.
2. Frustasi
pribadi, yaitu frustasi yang timbul dari ketidakmampuan orang itu mencapai
tujuan. Dengan kata lain frustasi tersebut timbul, karena adanya perbedaan
antar keinginan dengan tingkat kemampuannya. Misalnya, seorang siswa SMA
bercita-cita ingin menjadi seorang insinyur pertambangan, tapi ternyata dari
hasil penjurusan dia harus masuk kelas IPS, karena prestasi belajar di bidang
IPA dan Matematika sangat kurang.
3. Frustasi
konflik, yaitu frustasi yang disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam
diri seseorang. Dengan adanya motif-motif yang saling bertentangan, maka
pemuasan diri dari salah satunya akan menyebabkan frustasi bagi yang lain.
Reaksi individu terhadap frustasi
yang dialaminya berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pada struktur
maupun fisik, serta perbedaan sosial kultural dan nilai-niai agama yang
dianutnya. Perbedaan reaksi individu terhadap frustasi itu, dapat dilihat dari
kegiatan yang dilakukannya. Ada yang menghadapinya secara rasional, tetapi ada
juga yang reaksinya terlalu emosional, yang terwujud dalam bentuk-bentuk
tingkah laku yang salah suai atau maladjustment. Adapun wujud dari cara-cara
individu dalam mereaksi frustasi itu diantaranya adalah :
1. Agresi marah
(angry agression)
Akibat tujuan yang akan dicapainya
mengalami kegagalan, individu menjadi agresif, marah-marah dan merusak, baik
terhadap dirinya maupun terhadap sesuatu diluar dirinya. Agresi ini bisa
berwujud verbal (marah-maraah) atau non-verbal (seperti membanting pintu,
memecahkan barang-barang dan memukul)
2. Bertindak
secara eksplosif
Yaitu dengan jalan melakukan
perbuatan yang eksplosif baik dengan perbuatan jasmaniah maupun dengan ucapan-ucapan.
Setelah terkuras unek-uneknya semua, biasanya individu itu merasa ketegangan
dalam dirinya itu berkurang atau menghilang.
3. Dengan cara
introversi
Yaitu dengan jalan menarik diri dari
dunia nyata dan masuk ke dunia khayal. Dalam dunia khayal itu dia membayangkan
seolah sudah mencapai tujuannya. Istilah lain reaksi ini adalah melamun (Day
dreaming). Jika individu sungguh-sungguh mempercayai yang di khayalkannya itu
merupakan kenyataan maka akibatnya timbul waham atau delusi yang
seringkali diikuti oleh halusianasi. apabila individu benar-benar sudah lepas
dari dunia nyata lama kelamaan introversi berubah menjadi autisme.
4. Perasaan tak
berdaya (Helplessness)
Reaksi ini menunjukkan sikap tak
berdaya, patah hati, pasif dan mungkin juga menderita sakit. Reaksi ini
berlawanan dengan agresi marah.
5. Kemunduran (regression)
Reaksi frustasi yang menunjukkan
kemunduran dalam tingkah laku, yaitu tingkah laku yang kekanak-kanakan seperti
mengisap ibu jari.
6. Fiksasi (fixation)
Yaitu mengulang kembali sesuatu yang
menyenangkan.
7. Penekanan (repression)
Yaitu reaksi frustasi dengan cara
menekan pengalaman traumatis, keinginan, kekesalan atau ketidaksenangan, ke
alam tidak sadar.
8. Rasinalisasi(rationalization)
Yaitu usaha-usaha mencari-cari dalil
pada orang lain untuk menutupi kesalahan (kegagalan diri sendiri).
9. Proyeksi
Dalam reaksi ini individu
melemparkan sebab kegagalannya kepada orang lain atau sesuatu di luar dirinya.
10. Kompensasi
Dalam melakukan kompensasi, individu
berusaha untuk menutupi kekurangan atau kegagalannya dengan cara-cara lain yang
dianggapnya memadai. Contohnya: meminum minuman keras, pecandu narkoba.
11. Sublimasi
Mengalihkan tujuan pada tujuan lain
yang mempunyai nilai sosial atau etika yang lebih tinggi.
C.
Sikap
Konselor perlu memahami tentang
konsep sikap karena sikap sangat mewarnai perilaku individu atau dapat
dikatakan bahwa perilaku individu merupakan perwujudan dari sikapnya. Oleh
karena itu mengubah tingkah laku individu terlebih dahulu harus diubah sikapnya.
Dalam hal ini konselor perlu menyadari bahwa perubahan sikap (dari negatif
menjadi positif) merupakan salah satu tujuan dari bimbingan dan
konseling.
a.
Pengertian
1) Turstone
berpendapat bahwa sikap merupakan suatu tingkatan afeksi baik bersifat positif
maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis.
2) Howard
Kendler mengemukakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk mendekat atau
menjauhi atau melakukan sesuatu.
3) Paul Massen,
dkk., dan David Krech, dkk. berpendapat sikap itu merupakan suatu sistem dari
tiga komponen yang saling berhubungan yaitu kognisi (pengenalan), feeling
(perasaan) dan action tendensi (kecenderungan untuk bertindak).
4) Sarlito
Wirawan Sarwono mengemukakan bahwa sikap adalah kesiapan seseorang bertindak
terhadap hal-hal tertentu.
Dari pengertian-pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kondisi mental yang relatif menetap untuk
merespon suatu objek atau perangsang tertentu yang mempunyai arti, baik bersifat
positif, netral, atau negatif, menyangkut aspek-aspek kognisi, afeksi, dan
kecenderungan untuk bertindak.
Pengertian diatas dapat dijelaskan
dengan ilustrasi berikut: seorang mahasiswi muslim setelah mengetahui bahwa
memakai jilbab/ busana muslimat itu hukumnya wajib (aspek kognisi),
timbul dalam hatinya perasaan senang atau setuju untuk memakai jilbab itu (aspek
afeksi), kemudian perasaan tersebut mendorong dirinya untuk memakai jilbab
(aspek action tendency).
b.
Unsur
(Komponen) Sikap
1) Unsur
kognisi (cognition)
Unsur ini terddiri atas keyakinan atau pemahaman
individu terhadap objek-objek tertentu. Misalnya, sikap kita terhadap
perjudian, minuman keras, dan sebagainya. Kita memahami dan meyakini, bahwa
perjudian dan minuman keras itu hukumnya haram.
2) Unsur Afeksi
(feeling/ perasaan)
Unsur ini menunjukkan perasaan yang menyertai sikap
idividu terhadap suatu objek. Unsur ini bisa bersifat positif (menyenangi) dan
negatif (tidak menyenangi). Kita sebagai orang Islam tidak menyenangi perjudian
atau minuman keras, karena kita tahu hukumnya haram.
3) Unsur
kecenderungan bertindak (action tendendy)
Unsur ini meliputi seluruh kesediaan individu untuk
bertindak/mereaksi terhadap objek tertentu. Bentuk dari kecenderungan bertindak
bertindak ini sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur sebelumnya. Misalnya, seorang
muslim yang sudah meyakini bahwa judi itu hukumnya haram, dia akan membenci
judi tersebut dan dia akan cenderung menjauhinya.
c.
Ciri-ciri
Sikap
Untuk membedakan sikap dengan
aspek-aspek psikis lain seperti motif, kebiasaan dan pengetahuan. Sarlito
mengemukakan ciri-cirinya sebagai berikut:
·
Dalam sikap,
selalu terdapat hubungan anatar subjek dan objek.
·
Tidak ada
sikap yang tanpa objek.
·
Objek sikap
itu bisa berupa benda, orang, nilai-nilai, pandangan hidup, agama, hukum.
d.
Pembentukan
Sikap
Menurut Sartain, dkk., ada empat
faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu :
1. Faktor
pengalaman khusus
Hal ini berarti, bahwa sikap terhadap suatu objek itu
terbentuk melalui pengalaman khusus.
2. Faktor
komunikasi dengan orang lain
Banyak sikap individu yang terbentuk disebabkan oleh
adanya komunikasi dengan orang lain. Komunikasi itu baik langsung (face to
face) maupun tidak langsung, yaitu melalu media masa, seperti koran,
majalah, TV, radio dan sebagainya.
3. Faktor model
Banyak sikap terbentuk terhadap sesuatu dengan melalui
jalan mengimitasi (meniru) suatu tingkah laku yang memadai model dirinya.
Seperti perilaku orang tua, seorang anak merasa senang membaca koran, karena
melihat ayahnya suka membaca membaca koran.
4. Faktor
lembaga-lembaga sosial
Suatu lembaga dapat juga menjadi sumber yang
mempengaruhi terbentuknya sikap, seperti lembaga keagamaan, organisasi
kemasyarakatan, partai politik, dan sebagainya.
e.
Perubahan
Sikap
McGuire mengemukakan tentang teorinya
mengenai perubahan sikap itu sebagai berikut :
1.Learning theory approach (pendekatan
teori belajar)
Pendekatan ini beranggapan bahwa sikap itu berubah
disebabkan oleh proses belajar atau materi yang dipelajari.
2.Peceptual theory approach
(pendekatan teori persepsi)
Pendekatan teori ini beranggapan bahwa sikap seseorang
itu berubah bila persepsinya tentang objek itu berubah.
3.Consistency theory approach (pendekatan
teori konsisten)
Dasar pemikiran dari pendekatan ini adalah bahwa
setiap orang akan berusaha untuk memelihara harmoni intensional yaitu
keserasian atau keseimbangan dalam dirinya.
4.Funcional theory approach (pendekatan
teori fungsi)
Menurut pendekatan teori ini bahwa sikap seseorang itu
akan berubah atau tidak sangat bergantung pada hubungan fungsional
(kemanfaatan) objek itu bagi dirinya atau pemenuhan kebutuhan dirinya.
D.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia
ini membawa hereditas tertentu. Ini berarti bahwa karakteristik individu
diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. Karakteristik tersebut
menyangkut fisik (seperti: struktur tubuh, warna kulit, dan bentuk rambut) dan
psikis atau sifat-sifat mental (seperti: emosi, kecerdasan, dan bakat).
Hereditas atau keturunan merupakan
aspek individu yang bersifat bawaan dan memiliki potensi untuk berkembang.
Seberapa jauh perkembangan individu itu terjadi dan bagaimana kualitas
perkembangannya, bergantung pada kualitas hereditas dan lingkungan yang
mempengaruhinya. Lingkungan merupakan faktor penting disamping hereditas yang
menentukan perkembangan individu. Lingkungan itu meliputi fisik, psikis,
sosial, dan religius.
a.
Hereditas
(Keturunan )
Hereditas merupakan faktor pertama
yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartikan
sebagai “totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada
anaknya, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu
sejak masa konsepsi (masa pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari
pihak orang tua melalui gen-gen.”
Yang diturunkan orang tua kepada
anak adalah sifat strukturnya, bukan tingkah laku yang diperoleh (hasil belajar
atau pengalaman). Penurunan sifat-sifat dari satu generasi ke generasi
berikutnya adalah melalui prinsip-prinsip berikut:
1) Reproduksi, yaitu bahwa
penurunan sifat itu hanya berlangsung dengan melalui sel benih.
2) Konformitas,
yaitu proses
penurunan sifat itu mengikuti pola dari jenis (spesies) generasi sebelumnya,
misalnya manusia menurunkan sifat-sifat manusia pada anaknya.
3) Variasi, yaitu bahwa
proses penurunan sifat-sifat itu akan terjadi beraneka (bervariasi). Antara
kakak dengan adik akan terdapat perbedaan, meskipun berasal dari orang tua yang
sama.
4) Regresi
filial, yaitu bahwa penurunan sifat atau ciri-ciri itu cenderung ke arah
rata-rata.
b.
Lingkungan
Lingkungan adalah segala hal yang
mempengaruhi individu, sehingga individu itu terlibat/ terpengaruh karenanya.
Semenjak masa konsepsi dan masa-masa selanjutnya, perkembangan individu
dipengaruhi oleh mutu makanan yang diterimanya, temperatur udara sekitarnya,
suasana dalam keluarga, sikap-sikap orang sekitar, hubungan dengan sekitarnya,
suasana pendidikan (formal, informal, nonformal). Dengan kata lain, individu
akan menerima pengaruh dari lingkungan, memberi respon kepada lingkungan,
mencontoh atau belajar tentang berbagai hal dari lingkungan.
Urie Bronfrenbrenner & Ann
Crouter (Sigelman & Shaffer, 1995:86) mengemukakan bahwa lingkungan
perkembangan merupakan “berbagai peristiwa, situasi atau kondisi di luar
organisme yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perkembangan ndividu”.
Lingkungan ini terdiri atas:
(a) Fisik, yaitu
meliputi segala sesuatu dari molekul yang ada sekitar janin sampai sebelum lahir.
(b) Sosial,
yaitu meliputi seluruh manusia yang secara potensial mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh perkembangan individu.
Selanjutnya Urie Bronfrenbrenner
(Sigelman & Shaffer, 1995: 87-88; Vasta, Haith & Miller, 1992: 54-56)
mengemukakan tentang lapisan lingkungan, yaitu sebagai berikut:
a) Microsystem, merupakan
lingkungan yang paling dekat kepada individu, seperti keluarga, sekolah, dan
kelompok teman sebaya. Lapisan ini terdiri dari lingkunag fisik dan orang
(seperti menyangkut status sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan orang
tua).
b) Mesosystem, merujuk
kepada hubungan antar microsystem, seperti hubungan orang tua dengan
guru, dan hubungan saudara dengan teman tetangga.
c) Exosystem, seperti
tempat kerja orang tua, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
d) Macrosystem,
yaitu
lingkungan dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, seperti menyangkut
keyakinan atau sistem kepercayaan, sikap-sikap, dan tradisi.
Lingkungan perkembangan yang akan
dibahas berikut adalah menyangkut lingkungan keluarga, sekolah dan kelompok
sebaya.
1) Lingkungan
Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang
sangat penting dalam mengembangkan pribad anak. Perawatan orang tua yang penuh
kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun
sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan
anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Agama memberikan petunjuk tentang
tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya
berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapeaka kehidupan,
baik di dunia maupun di akhirat kelak (kandungan QS Attahrim: 6). Rasulullah
SAW dalam salah satu haditsnya bersabda “setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah (tauhiidullah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi yahudi,
nasrani, dan majusi” (HR. Bukhori & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah
Ulama, 1988).
Berkenaan dengan peran orang tua
dalam mendidik anak, Imam Al- Ghazali dalam kitab Ikhtisar Ihya Ulumuddin
terjemahan Mochtar Rasjidi dan Mochtar Jahja (1966: 189) mengemukakan bahwa
anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik
atau buruknya pendidikan yang diberikan kepadanya.
2) Lingkungan
Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan
formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan
latihan dalam membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang
menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.
Mengenai peranan sekolah dalam
mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986: 322) mengemukakan bahwa sekolah
merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam
cara berfikir, bersikap, maupun cara berprilaku.sekolah berperan sebagai
substitusi keluarga, dan guru substitusi orang tua. Ada beberapa alasan,
mengapa sekolah memainkan peranan yang berarti bagi perkembangan kepribadian
anak, yaitu:
·
Para sisiwa
harus hadir di sekolah.
·
Sekolah
memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan masa perkembangan
“konsep diri” nya.
·
Anak-anak
banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada di tempat lain di luar rumah.
·
Sekolah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses.
·
Sekolah
memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya
secara realistik.
Menurut Havighurst (1961: 5) sekolah
mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para siswa
mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu, sekolah seyogianya
berupaya untuk menciptakan iklim yang kondusif, atau kondisi yang dapat
memfasilitasi siswa (yang berusia remaja) untuk mencapai tugas perkembangannya.
Tugas-tugas perkembangan
remaja itu menyangkut aspek-aspek kematangan dalam berinteraksi sosial,
kematangan personal, kematangan dalam mencapai filsafat hidup, dan kematangan
dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3) Kelompok
Teman Sebaya (Peer Group)
Kolompok teman sebaya sebagai
lingkungan sosial remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting
bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting, terutama pada
saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa dekade
terakhir in, yaitu:
·
Perubahan
struktur keluarga, dari keluarga besar ke keluarga kecil.
·
Kesenjangan
antara generasi muda.
·
Ekspansi
jaringan komunikasi diantara kawula muda.
·
Panjangnya
masa atau penundaan memasuki masyarakat orang dewasa.
Adapun kepribadian remaja yang
berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya,
adalah sebagai berikut:
a) Sosial
kognition: kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan,
motif dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang
lain, memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih
baik dengan teman sebayanya.
b) Konformitas: motif untuk
memnjadi sama, sesuai, atau seragam dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran
(hobi), atau budaya teman sebayanya.berdasarkan survei nasional terhadap remaja
di Amerika, ditemukan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang kuat untuk
menjadi populer dan konformitas (Conger, 1983: 328-329).
Mengkaji persahabatan dikalangan
teman sebaya, banyak hasil penelitian menunjukkan, bahwa faktor utama yang
menentukan daya tarik hubungan interpersonal diantara remaja pada umumnya
adalah adanya kesamaan dalam minat, nilai-nilai, pendapat, dan sifat-sifat
kepribadian. Penelitian Kandel (Adam & Gulllota, 1983: 112) menunjukkan
bahwa karakteristik persahabatan remaja adalah dipengaruhi oleh kesamaan usia,
jenis kelamin, dan ras. Sedangkan di sekolah dipengaruhi oleh kesamaandalam
faktor-faktor harapan/ aspirasi pendidikan, nilai (prestasi belajar), absensi
dan pengerjaan tugas-tugas atau pekerjaan rumah. Kandel juga menemukan bahwa
kesamaan dalam menggunakan obat-obat terlarang (terutama marijuana) merokok,
dan minuman kerasmempunyai pengaruh yang kuat dalam pemilihan teman.
Hasil penelitian lainnya dikemukakan
oleh Hans Sebald (Sigelman & Shaffer, 1995: 379) yaitu bahwa teman sebaya
lebih memberikan pengaruh dalam memilih cara berpakaian, hobi, perkumpulan, dan
kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Peranan kelompok sebaya bagi remaja
adalah memberikan kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi
dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan
keterampilan, dan minat yang relevan dengan usianya, dan (4) saling bertukar
perasaan dan masalah.
Pengaruh kelompok teman sebaya
terhadap remaja, ternyata berkaitan erat dengan iklim keluarganya. Dalam iklim
keluarga yang sehat, remaja cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh
negatif temannya, dibandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orang tuanya
kurang baik. Judith Brooks dan koleganya menemukan, bahwa hubungan orang tua
dengan remaja yang sehat dapat meilndung remaja tersebut dari pengaruh temannya
yang tidak sehat (Sigelman & Shaffer, 1995: 380).
Terhadap dua faktor yang diatas
(hereditas dan lingkungan), terdapat perbedaan pendapat para ahli, mengenai faktor
mana yang paling mempengaruhi perkembangan individu. Perbedaan pendapat itu
adalah:
1) Nativisme
(pembawaan)
Tokohnya Schoupenhower (Jerman). Pendapat aliran ini
adalah bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh sesuatu yang
telah ada di dalam diri individu yang dibawa sejak lahir (pembawaan). Menurut
pendapat ini lingkungan tidak mempunyai peranan terhadap perkembangan individu
tersebut.
2) Empirisme
(pengalaman)
Tokohnya John Locke (Inggris). Pendapatnya bahwa
perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh lingkungan. John Locke,
seorang tokoh yang terkenal dengan teorinya “Tabularasa”, yaitu yang
menganggap, bahwa anak yang dilahirkan itu bagaikan meja lilin atau kertas
putih bersih, yang belum kena coretan apapun.
3) Konvergensi
Tokohnya William Stern (Jerman). Pendapatnya bahwa
pembawaan dan lingkkungan merupakan dua faktor yang sama kuat menentukan
perkembangan individu.
c.
Kematangan
Faktor ketiga yang dipandang
mempengaruhi perkembangan individu adalah kematangan. Yang dimaksud
dengan kematangan ini adalah “siapnya suatu fungsi kehidupan, baik fisik maupun
psikis untuk berkembang dan melakukan tugasnya”.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai
keterkaitan antara ketiga faktor tersebut, dapat dilihat dari formula berikut.
P (I) = F (H.E.T/M)
|
Formula diatas, dapat diterjemahkan
sebagai berikut: Person (individu) meruakan hasil (fungsi) dari
interaksi antara faktor-faktor Hereditas, Environtment (lingkungan), dan Time/
Maturation (kematangan).
E.
Masalah Perkembangan Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia
dengan membawa hederitas tertentu. Hal ini berarti bahwa karakteristik individu
diperoleh melalui pewarisan dari pihak orangtuanya. Karakteristik tersebut
menyangkut fisik (seperti stuktur tubuh, warna kulit, dan bentuk rambut ) dan
psikis atau sifat-sifat mental (seperti emosi, dan kecerdasan).
Herderitas merupakan aspek bawaan
dan memiliki potensi untuk berkembang. Seberapa jauh perkembangan individu itu
terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung pada kualitas
hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan (environment)
merupakan faktor penting disamping hereditas yang menentukan perkembangan individu.
Perkembangan dapat berhasil dengan
baik, jika faktor-faktor tersebut saling melengkapi. Untuk mencapai
perkembangan yang baik harus ada asuhan terarah. Asuhan dalam perkembangan
dengan melalui proses belajar sering disebut pendidikan.
Pendidikan sebagai salah satu bentuk
lingkungan, bertanggung jawab dalam memberikan asuhan terhadap proses
perkembangan individu. Bimbingan dan konseling sebagai komponen pendidikan
merupakan pemberian layanan bantuan kepada individu dalam upaya mengembangkan
potensi diri atau tugas-tugas perkembanganya (developmental task ) secara
optimal.
Tugas-tugas perkembangan merupakan
suatu tugas yang muncul pada priode tertentu dalam rentang kehidupan individu
apabila berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam
menuntaskan tugas perkembangan berikutnya. Apabila gagal, maka akan menimbulkan
penolakan masyarakat dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas
perkembangan berikutnya ( Havighurst, 1961).
Tugas-tugas perkembangan ini
berkaitan dengan sikap prilaku atau ketrampilan yang seyogiyanya dimiliki oleh
individu sesuai dengan usia atau fase perkembanganya. Hurlock (1981)
mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan social expectation
(harapan sosial masyarakat). Dalam arti setiap kelompok budaya mengharapkan
para anggota menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh pola
perilaku yang di setujui bagi berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.
Munculnya tugas-tugas perkembangan
bersumber pada faktor-faktor berikut:
a.
Kematangan
fisik, misalnya (1) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, dan (2)
belajar bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja ,karena
kematangan hormon seksual
b. Tuntutan
masyarakat secara kultural ,misalnya (1) belajar membaca, (2) belajar menulis ,
(3) belajar menghitung,dan (4) belajar berorganisasi.
c.
Tuntutan
dari Dorongan dan cita-cita individu itu sendiri,misalnya (1) memilih
pekerjaan,dan (2) memilih tempat hidup.
d. Tuntutan
norma agama ,misalnya(1) taat beribadah kepada Allah, dan(2) berbuat baik
kepada sesama
manusia.
Tugas-tugas perkembangan dalam
rentang kehidupan individu dapan diuraukan sebagai
brikut:
a.
Tugas
Perkembangan Usia Bayi dan Kanak-kanak (0 – 6 tahun)
1) Berjalan
berjalan.
2) Belajar
memakan makanan padat.
3) Belajar
berbicara.
4) Belajar
buang air kecil dan buang air besar (toilet training).
5) Belajar
mengenal perbedaan jenis kelamin.
6) Mencapai kestabilan
jasmaniyah fisiologis.
7) Belajar
memahami konsep-konsep sederhana temtang kehidupan sosial dan alam.
8) Belajar
melakukan hubungan emosional dengan orangtua, saudara, dan orang lain.
9) Belajar
mengenl konsep baik dan buruk ( mengembangkan kata hati).
10) Mengenal
konsep, norma atau ajaran agama secara sederhana.
b.
Tugas
Perkembangan Usia Sekolah Dasar (7 – 12 tahun)
1) Belajar
memproleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
2) Belajar
membentuk sikap positif, yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai mahluk
biologis (dapat merawat keberhasilan dan kesehatan diri ).
3) Belajar
bergaul dengan teman sebaya.
4) Belajar
memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.
5) Belajar
keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.
6) Belajar
mengembangkan konsep (agama, ilu pengetahuan adat istiadat) sehari-hari.
7) Belajar
mengembangkan kata hati (pemahaman tentang benar, salah, baik-buruk).
8) Belajar
memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi (bersikap mandiri).
9) Belajar
mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan sosial.
10) Mengenal dan
mengamalkan ajaran agama sehari-hari.
c.
Tugas
Perkembangan Usia Remaja (13 – 19 tahun)
1) Menerima
fisiknya sendiri beikut keragaman kualitasnya.
2) Mencapai
kenandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mempunyai otoritas
(mengembangkan sikap respek terhadap orangtua dan orang lain tampa tergantung
padanya).
3) Mengembangkan
ketrampilan komunikasi imtrpesonal.
4) Mampu
bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar.
5) Menemukan
manusia model yang dijaikan pusat idetifikasinya.
6) Memerima
dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadp kemampun sendiri.
7) Memperoleh self
– control (kemampuan mengendalaikan sendiri) atas dasar sekala nilai,
prinip-prinsip atau falsafah hidup.
8) Mampu
meninggalkan reaksi dan penyesualan diri (sikap dan prilaku) yang kekanak
–kanakan.
9) Bertingkah
laku yang bertanggung jawab secara sosial.
10) Mengembangkan
keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.
11) Memilih dan
mempwrsiapakn karir (pekejaan).
12) Memiliki
sikap positif terhadap sikap pernikahan dan hihup berumah tangga.
13) Mengamalkan
ajaran agma yang dianutnya.
d.
Tugas
Perkembangan Usia Dewasa Awal (20 – 40 tahun)
1) Mengembangkan
sikap, wawasan dan pengamalan niai-nilai (ajaran) agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar