BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakangPermasalahan
Konsep bimbingan dan konseling telah
lama dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang “developing one’s potential” (pengembangan potensi individu) dapat
ditelusuri dari masyarakat Yunani kuno. Mereka menekankan tentang upaya-upaya
untuk mengembangkan dan memperkuat individu melalui pendidikan, sehingga mereka
dapat mengisi peranannya di masyarakat. Mereka meyakini bahwa dalam diri
individu terdapat kekuatan-kekuatan yang dapat distimulasi dan dibimbing ke
arah tujuan-tujuan yang berguna, bermanfaat, atau menguntungkan baik bagi
dirinya sendiri maupun masyarakat.
Plato dipandang sebagai “konselor”
Yunani Kuno, karena dia telah menaruh perhatian yang begitu besar terhadap
pemahaman psikologis individu, seperti menyangkut aspek isu-isu moral,
pendidikan, hubungan dalam masyarakat, dan teologis.
Aristoteles sebagai “konselor” kedua
dari Yunani. Dia banyak berkontribusi pemikiran ke dalam bidang psikologi.
Salah satu sumbangan pemikirannya itu adalah studi tentang interaksi individu
dengan lingkungan dan yang lainnya,serta upaya mengembangkan fungsi-fungsi
individu secara optimal.
Hippocrates dan para dokter (tabib)
lainnya juga menaruh perhatian terhadap bidang psikologi ini, seperti
terefleksikan dari pendapatnya, yaitu bahwa gangguan mental yang diderita
individu disebabkan oleh factor alam.
Masyarakat Yahudi purba mempunyai
perhatian terhadap individualitas dan hak menentukan atau pengaturan diri
sendiri (self determination).
Sementara masyarakat Kristen menekankan bahwa idealita kemanusiaan menjadi
dasar bagi kehidupan masyarakat demokratis, yang pada abad ini mempengaruhi
gerakan konseling.
Luis Vives sebagai filosof dan juga
pendidik berpendapat bahwa merupakan suatu kebutuhan untuk membimbing individu
yang sesuai dengan sikap dan bakatnya. Di samping itu dia mengemukakan bahwa
para wanita pun harus dipersiapkan untuk dapat bekerja.
Rene Descrates ( 1596-1650) telah
melakukan studi tentang tubuh manusia sebagai suatu organisme yang mereaksi
terhadap berbagai stimulus. Pada abad 18, Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
mengemukakan bahwa perkembangan individu
dapat berlangsung dengan baik, apabila dia bebas untuk mengembangkan
dorongan-dorongan alamiahnya, dan dia diberi kebebasan untuk belajar dan
belajar melalui bekerja. Sementara Johann Pestalozzi (1746-1827) seorang
pendidik ternama dari Swiss mengemukakan bahwa masyarakat itu dapat
direformasi, apabila setiap warga masyarakat tersebut dapat menolong
perkembangan dirinya sendiri (to help
himself develop).
Paparan di atas merupakan sekilas
pandang para tokoh tentang bagaimana bimbingan dan konseling itu berkembang,
dari mulai zaman Yunani Kuno sampai dengan
abad 18-an.
1.2 RumusunMasalah
- Apasajalandasan yang digunakandalambimbingandankonseling?
- Bagaimanakahimplikasilandasan-landasantersebutdalambimbingandankonseling?
1.3 Tujuan
- Tujuanpenulisanmakalahiniadalahuntukmemberikanpemahaman/
pengetahuantentanglandasan-landasanapasaja yang
digunakandalambimbingandankonselingdanimplikasinyaterhadappenerapan BK
itusendiri.
1.4 Manfaat
Penulisanmakalahinidiharapkandapatmemberikanmanfaatantara lain:
a. Mahasiswadapatmengetahuitentanglandasan-landasan yang digunakandalambimbingankonseling.
b.
Dapatmemberisumbangsihpengetahuandalampembelajaranmatakuliahbimbingandankonseling.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Historis Bimbingan dan Konseling di
Indonesia
Landasan Historisbimbingan dan
konseling di Indonesia berbeda dengan di Amerika. Seperti tertera pada uraian
di atas, perkembangan layanan bimbingan di Amerika dimulai dari usaha
perorangan dan pihak swasta, kemudian berangsur-angsur menjadi usaha
pemerintah. Sementara di Indonesia, perkembangannya dimulai dengan kegiatan di
sekolah dan usaha-usaha pemerintah.
Layanan bimbingan dan konseling di
Indonesia telah mulai di bicarakan secara terbuka sejak tahun 1962. Hal ini
ditandai dengan adanya perubahan system pendidikan di SMA, yaitu terjadinya perubahan
nama menjadi SMA Gaya Baru, dan berubahnya waktu penjurusan, yang awalnya di
kelas I menjadi di kelas II. Program penjurusan ini merupakan respon akan
kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke jurusan yang tepat bagi dirinya
secara perorangan. Dalam rencana Pelajaran SMA Gaya Baru, diantaranya di
tegaskan sebagai berikut :
a) Di kelas I
setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan minatnya,
dengan jalan menjelajahi segala jenis mata pelajaran yang ada di SMA, dan
dengan bimbingan penyuluhan yang teliti dari para guru maupun orang tua.
b) Dengan
mempergunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan dalam kartu
priba disetiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas II kelompok khusus :
Budaya, Sosial, Pasti dan Pengetahuan Alam.
c) Untuk
kepentingan tersebut, maka pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan
seteliti-telitinya.
Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana pembelajaran di SMA ini
disusul dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan konseling
di sekolah, seperti rapat kerja, penataran dan lokakarya. Puncak dari usaha ini
adalah didirikannya jurusan bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu
Pendidikan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri. Salah satu yang
membuka Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan adalah IKIP Bandung pada tahun 1963,
yang sekarang berganti nama yaitu Universitas Pendidikan Indonesia.
Peran bimbingan kembali mendapat
perhatian setelah diperkenalkannya gagasan sekolah pembangunan pada tahun 1970/
1971. Gagasan pembangunan ini kemudian dituangkan dalam program Sekolah
Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP), yang berupa proyek percobaan dan
peralihan dari system persekolahan lama menjadi sekolah pembangunan.
Pembentukan SMPP ini dimaktubkan dalam surat keputusan menteri pendidikan dan
kebudayaan Nomor 0199/0/1973. Dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan di
SMPP ini badan pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
telah menyusun Program Bimbingan dan penyuluhan SMPP.
Usaha mewujudkan system sekolah
pembangunan tersebut dilaksanakan melalui proyek pembaharuan pendidikan, yang
diberi nama Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP). PPSP ini diujicobakan
di delapan IKIP, yang diantaranya adalah IKIP Bandung dan Jakarta. Badan
pengembangan pendidikan, melalui lokakarya-lokakarya telah berhasil menyusun
dua naskah penting dalam sejarah perkembangan layanan bimbingan dan konseling,
yaitu sebagai berikut:
a. Pola dasar
rencana dan pengembangan program bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek
perintis sekolah pembangunan.
b. Pedoman
operasional pelayanan bimbingan pada proyek-proyek perintis sekolah
pembangunan.
Secara formal bimbingan dan
konseling diprogramkan di sekolah sejak berlakunya kurikulum 1975, yang
menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam
pendidikan di sekolah. Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini memberi pengaruh yang sangat berarti
terhadap perluasan program bimbingan di sekolah.
Setelah melalui upaya penataan,
dalam dekade 80-an bimbingan diupayakan agar lebih maju untuk mewujudkan
layanan bimbingan yang professional, yang mana dalam dekade ini lebih mengarah
pada profesionalisasi yang lebih baik. Yaitu dengan cara penyempurnaan
kurikulum. Dari kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984 yang telah ditambah bimbingan
karir di dalamnya.
Usaha memantapkan bimbingan terus
dilanjutkan dengan diberlakunya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:” pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.”
Posisi bimbingan yang termaktub
dalam undang-undang No.2 di atas diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP)
No.28 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No.29 Bab X pasal 27/1990 yang menyatakan bahwa”
Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya
menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.”
Penataan bimbingan terus dilanjutkan
dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Dalam pasal 3 disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan,
melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil
pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap
peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada tahun yang sama juga keluar
Surat Keputusan Bersama Mendikbud dengan Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 26
tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya, yang tercantum pada Bab III Pasal 4 ayat 1,2, dan 3 yaitu sebagai
berikut:
a)
Standar
prestasi kerja guru pratama sampai guru dewasa tingkat I dalam melaksanakan PBM
atau Bimbingan meliputi hal berikut:
1) Persiapan
program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling (BK).
2) Penyajian
program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling.
3)
Evaluasi
program pengajaran atau praktik atau bim bimbingan dan konseling.
b)
Standar
prestasi kerja guru Pembina sampai guru utama selain tersebut pada ayat 1
ditambah dengan hal berikut:
1)
Analisis
hasil evaluasi pengajaran atau praktik atau BK.
2)
Penyusunan
program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut pelaksanaan BK.
3)
Pengembangan
profesi dengan angka kredit sekurang-kurangnya 12 (dua belas).
c)
Khusus
standar prestasi kerja guru kelas, selain tersebut pada ayat 1 atau ayat 2,
sesuai dengan jenjang jabatannya ditambah melaksanakan program BK di kelas yang
menjadi tanggung jawab.
Pada tahun 2001 nama organisasi
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berubah menjadi Asosiasi Bimbingan
Konseling Indonesia (ABKIN), sehingga menjadikan perkembangan bimbingan dan
konseling di Indonesia menjadi semakin bagus (mantap). Pemunculan nama ini
dilandasi oleh pemkiran bahwa bimbingan dan konselingan harus tampil sebagai
profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan public.
Berdasarkan penelaahan yang cukup
kritis terhadap perjalanan historis gerakan bimbingan dan konseling di
Indonesia, Prayitno mengemukakan bahwa periodesasi perkembangan gerakan
bimbingan dan penyuluhan di Indonesia melalui lima periode, yaitu: periode
prawacana, pengenalan, pemasyarakatan, konsolidasi, dan tinggal landas.
Periodesasi Pergerakan Bimbingan dan
Konseling di Indonesia
PERIODESASI
|
PERISTIWA
|
Periode I
dan II:
Prawacana
dan Pengenalan (sebelum 1960-1970-an)
|
Pada
periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah dimulai,
terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar negeri. Periode
ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun
1963 di IKIP Bandung (sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai
dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalakan pelayanan
BP pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in ditandai
dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin
dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
|
Periode
III:
Pemasyarakatan
(1970-1990 an)
|
Pada
periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menengah Tingkat Atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke
dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi
BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga
ini ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984
ini, pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karir. Dan pada periode
ini muncul beberapa permasalahan, seperti: (1) berkembangnya pemahaman yang
keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan karir dengan Bimbingan
Penyuluhan. (2) kerancuan dalam mengimlementasikan SK Menpan No
26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam
SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan
pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun
implementasinya.
|
Periode
IV:
Konsolidasi
(1990-2000)
|
Pada
periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP
itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat
di atas). Pada periode ini ditandai oleh (1) diubahnya secara resmi kata
penyuluhan menjadi konseling. (2) pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan
oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai
diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing.
(4) mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing. (5) pola
pelayanan BK di sekolah dikemas dalam BK Pola 17, dan (6) dalam bidang
kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK. (7) dikembangkannya
sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.
|
Periode V:
Lepas
Landas
|
Semula
diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai,
sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal
landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum
terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM). Kelemahannya
berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para
pelaksana layanan. Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi
terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan
profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu: (1) penggantian nama
organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia), (2) lahirnya undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system
pendidikan nasional, yang dimuat di dalamnya ketentuan bahwa konselor
termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (bab1 ayat 4). (3) kerjasama pengurus
besar ABKIN dengan dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling.
(4) kerjasama ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru
pembimbing (konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.
|
Dalam usaha untuk lebih memantapkan
atau memajukan dan Konseling sebagai suatu profesi, saat ini telah banyak
kegiatan yang dilakukan baik yang berupa seminar, lokakarya ataupun penerbitan
buku dan jurnal. Pada bulan Desember 2003 ABKIN telah menyelenggarakan Konvensi
Nasional XIII yang diisi dengan kegiatan-kegiatan seminar dan lokakarya
(Semiloka) yang bertemakan “Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia Menuju ke
arah Standar Internasional”. Para pembicara pada seminar ini di samping berasal
dari para pengurus ABKIN dan para pakar Bimbingan dari Negeri juga berasal dari
luar negeri. Yaitu dari Jepang (Prof. Toshinori Ishikuma) dan Malaysia (Prof.
Dr. Wan Kader Wan Ahmad). Selain itu, di setiap kota atau kabupaten yang ada
guru pembimbingnya telah dibentuk organisasi MGBK yaitu Musyawaroh Guru
Bimbingan dan konseling, baik di tingkat SLTP ataupun SLTA.
Dalam penyelenggaraan program
Bimbingan dan Konseling pada saat ini masih ada beberapa persoalan, antara lain
adalah:
a.
Masih
terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan
jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan, bahkan di sekolah dasar (SD)
atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada pengangkatan khusus seorang konselor.
b.
Dampak dari
kesenjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah, atau jumlah peserta
didik adalah:
1) Di sekolah
tertentu tidak ada guru pembimbing.
2) Di
sekolah-sekolah tertentu ada guru pembimbingnya meskipun tidak seimbang dengan
banyaknya siswa.
3) Untuk
menutupi kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah mengangkat
guru-guru mata pelajaran(yang jam mengajarnya kurang) menjadi guru pembimbing.
c.
Pengangkatan
guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi memberikan impresi
positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian
kepada sekolah terhadap program BK. Akan tetapi di sisi lain juga berdampak
negative bagi profesi pembimbing, yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi
bimbingan dan konseling itu sendiri. Karena ditangani oleh orang-orang yang
tidak memiliki keahlian dalam bidang BK.
d.
Walaupun
bimbingan konseling dipandang sebagai kegiatan yang professional, akan tetapi
secara hokum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh, yang
memberikan jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor lah yang bisa
mengemban tugas atau memberikan layanan bimbingan dan konseling.
e.
Popularitas
Bimbingan dan Konseling masih terbatas di dalam kalangan tertentu, di
lingkungan (sekolah) yang sudah akrab dan apresiasi terhadap BK, akan tetapi
ada juga di kalangan sekolah yang belum memahami secara tepat dan bahkan
menaruh citra negative terhadap BK.
f.
Masih ada
juga kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program BK di sekolah,
sehingga mereka memberikan tugas kepada guru pembimbing (konselor) yang mismatch,
tidak profesiona, tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya.
g.
Citra BK
semakin terpuruk dengan adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak
professional, dan mereka masih lemah dalam hal:
1) Memahami
konsep-konsep bimbingan secara komperehensif.
2) Menyusun
program bimbingan dan konseling
3) Mengimplementasikan
teknik-teknik BK.
4) Kemampuan
berkolaborasi dengan kepala sekolah atau guru mata pelajaran.
5) Mengelola
BK.
6) Mengevaluasi
BK dan melakukan tindak lanjut untuk perbaikan atau pengembangan program.
7)Penampilan kwalitas pribadinya,
yaitu mereka masih dinilai kurang percaya diri, kurang ramah, kurang kreati,
kurang kooperatif dan kolaboratif
h.
LPTK yang
menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing masih belum memiliki
kurikulum yang bagus untuk melahirkan konselor-konselor professional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tenaga pembimbing atau konselor di Amerika sudah
mencapai standarisasi professional yang mantap. Sedangkan di Indonesia masih
berada dalam proses pengkajian, validasi dan pemantapan dalam berbagai
aspeknya.
Secara organisatoris atau yuridis formal, profesi
bimbingan dan konseling menunjukkan kondisi yang semakin mantap, namun dalam
tataran implementasi masih mengalami kelemahan dalam berbagai aspeknya, seperti
menyangkut menajemen sumber daya ( kualitas pribadi dan kemampuan
professional), penempatan guru-guru mata pelajaran sebagai guru pembimbing,
pemberian tugas yang mismatch
terhadap guru pembimbing, dan sarana-prasarana.
DAFTAR PUSTAKA
Gibson,
R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction
of counseling and Guidance. New York: MacMillan Publishing Company.
Syamsu
yusuf, landasan bimbingan & konseling. Bandung: PT rosdakarya, 2005.
Rochman
Natawidjaja, 1971.
Muro, J.J., & Kottman, T. (1995). Guidance nad Counseling in the Elementary
and middle Schools. Madison: Wm C. Brown Com.Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar